KOMPAS.com - Gaya wisata rendah karbon mungkin belum akrab buat sebagian orang. Padahal, ini bisa jadi pilihan baru untuk bersenang-senang yang ramah lingkungan, khususnya di kota-kota besar.
Sebab, nyatanya saat berwisata, ada masalah baru yang timbul dan berdampak pada kenaikan suhu bumi.
Mulai dari mobilitas wisatawan, aktivitas kuliner, akomodasi yang digunakan, hingga ke pembelian suvenir, semua menghasilkan jejak karbon.
Pariwisata sumbang emisi karbon
Seperti disampaikan Kepala bidang Data, Informasi dan Pengembangan Destinasi Disparekraf DKI Jakarta Hari Wibowo, faktanya parwisata memang menjadi salah satu penyumbang emisi global.
"Dampak kenaikan suhu rata-rata bumi sebesar 1,5-2 derajat Celcius akan meruntuhkan ekonomi dunia, salah satunya pariwisata yang merupakan 10 persen ekonomi global. Padahal, 1 dari 10 orang bergantung pada pariwisata untuk hidup," papar Hari dalam acara Wisata Rendah Karbon di Jakarta Pusat, Sabtu (29/4/2023).
Selain itu, kenaikan 2 derajat celsius juga diprediksi akan menenggelamkan 80-90 persen Jakarta Utara dan menghilangkan keindahan alam Indonesia, mulai dari dalam laut hingga ke atas gunung. Itulah mengapa wisatawan perlu beralih pada praktik wisata rendah karbon.
"Kita tidak bisa dan tidak boleh memberhentikan pariwisata, tapi kita bisa mengubah cara kita berwisata menjadi lebih rendah karbon, atau ramah iklim," ucap Hari.
Upaya wisata rendah emisi
Hal ini, kata dia, sejalan dengan target pemerintah Indonesia yang berencana mengurangi 32 persen emisi karbon di tahun 2030. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk beralih pada gaya wisata rendah karbon? Yuk simak!
1. Memilih transportasi yang lebih rendah emisi
Sebagai negara kepulauan, pesawat tentunya jadi pilihan transportasi terbaik untuk bepergian. Namun, nyatanya pesawat menyumbang 49 persen emisi karbon dalam industri pariwisata secara global.
Maka itu, Regeneratif Travel Manager Bumi Journey, Andri, mengatakan, untuk melakukan perjalanan yang masih dalam satu pulau, wisatawan bisa memilih alternatif transportasi umum lain yang lebih ramah lingkungan. Misalnya bus, atau kereta api.
"Kalau perjalanannya masih di satu pulau, atau jarak dekat, kita bisa memilih opsi transportasi lain seperti kereta api dan bus," ucap Andri dalam kesempatan serupa.
2. Naik transportasi umum
Saat berwisata, wisatawan cenderung memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi umum, ataupun berjalan kaki saat melakukan aktivitas wisata mereka.
Kencenderungan ini tentu saja membawa sejumlah dampak negatif. Seperti, borosnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM), hingga berdampak pada meningkatnya kemacetan dan polusi udara, yang berujung pada makin beratnya beban lingkungan di lokasi tujuan.
Untuk itu, wisatawan bisa mulai beralih menggunakan transportasi umum yang lebih ramah lingkungan, ketimbang kendaraan pribadi sebagai moda transportasi untuk aktivitas wisatanya.
3. Mengurangi konsumsi daging merah dan mengonsumsi makanan organik
Andri, menyampaikan bahwa salah satu penyumbang emisi karbon yang membuat bumi semakin panas adalah metana.
Adapun metana tersebut juga dihasilkan dari pupuk yang kerap digunakan oleh perkebunan, hingga sendawa yang dikeluarkan oleh sapi.
"Perkebunan kita umumnya pakai pupuk yang menghasilkan metana. Sendawa dan ekskresi yang dikeluarkan oleh sapi juga punya emisi yang tinggi," papar dia.
Maka itu, langkah berkontribusi dalam wisata ramah karbon, bisa dimulai dari mengurangi konsumsi daging merah, serta memilih mengonsumsi makanan organik saat berwisata.
4. Memilih akomodasi di homestay lokal
Andri juga memaparkan bahwa hotel menyumbang enam persen dari total emisi yang dihasilkan oleh pariwisata secara global. Maka itu, wisatawan bisa memilih penginapan di homestay sebagai praktik bisnis wisata rendah karbon.
Dengan menginap di homestay, wisatawan juga turut berkontribusi dalam memajukan perekonomian komunitas lokal di suatu daerah.
https://travel.kompas.com/read/2023/05/01/120100727/4-cara-berwisata-rendah-karbon-untuk-bumi-yang-lebih-baik
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.