Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (17)

Kompas.com - 28/03/2008, 08:14 WIB

Di pintu gerbang ini ada pos pemeriksaan tentara Tajikistan. GBAO memang propinsi sensitif. Pemeriksaan tentara di mana-mana. Semua melompat turun dan menunjukkan paspor masing-masing. Saya masuk ke ruang gelap itu. Ada kasur bersusun. Seorang tentara, sepertinya komandan, sambil tiduran berbungkus selimut, memeriksa dokumen-dokumen kami. Supir-supir Kirghiz menunjukkan paspor biru mereka, berjudul besar: KYRGYZ RESPUBLIKASY. Dengan garang, di balik selimut tebal dan di atas sandaran bantal kumalnya, si komandan membolak-balik paspor-paspor itu.

Suaranya tiba-tiba menggelegar.

            "Mana registrasinya?"

Supir-supir Kirghiz tertunduk, diam seribu bahasa. Orang-orang bertubuh besar ini seketika meringkuk seperti murid SD yang disetrap gurunya karena lupa mengerjakan pe er. Si komandan langsung melanjutkan ceramahnya tentang arti pentingnya registrasi, sambil menunjukkan contoh registrasi 'yang baik dan benar' dari paspor Indonesia saya.

            "Brat, kalau kamu masuk Tajikistan, kamu harus ikut hukum Tajikistan," suara menggelegar dalam bahasa Rusia yang kasar dan cepat terus berkumandang dari balik selimut tebal.
            "Kalau tinggal di sini lebih dari tiga hari, registrasi wajib hukumnya!" sergap komandan itu lagi.

Dia melemparkan paspor-paspor Kyrgyzstan itu seperti buku-buku tak berharga. Semua supir Kirghiz ini kena denda, masing-masing 20 Somoni atau sekitar 6 dolar.

Dua puluh Somoni membuat salah satu supir ini menitikkan air mata. Bagi pria bertubuh besar dan garang ini, kehilangan 20 Somoni hanya gara-gara cap registrasi cukup untuk memproduksi rasa haru dan sedih. Untuk urusan duit, komandan Tajikistan susah ditawar. Dibandingkan dengan orang-orang Kirghiz ini, saya sebenarnya membayar jauh lebih mahal demi mendapatkan registrasi 'yang baik dan benar'. Sepuluh dolar di Dushanbe dan sepuluh dolar di Khorog untuk mendapatkan dua cap buruk rupa di tengah paspor saya. Tajikistan memang hidup dari gemerisik roda birokrasi.

Langit semakin gelap ketika rombongan kami sampai ke pekarangan rumah Dudkhoda. Rumah-rumah di sini semua gelap dan bobrok. Sunyi. Tak ada kehidupan, laksana rumah hantu. Tetapi rumah-rumah hantu di pekarangan inilah yang membuat saya berbalik simpati kepada Dudkhoda.



(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com