Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (17)

Kompas.com - 28/03/2008, 08:14 WIB

Karakteristik orang Kirghiz sangat Mongoloid, sangat jauh berbeda dengan orang Tajik yang berkarakteristik wajah Eropa. Mata yang relatif sipit dan hidung datar membuat mereka sangat mirip dengan orang China dan Jepang. Mereka menganut agama Islam Sunni, sedangkan orang Tajik di Pegunungan Pamir umumnya Syiah sekte Ismaili. Tetapi, karena kebudayaan nomaden yang sangat kental dan agama Islam dalam sejarah orang Kirghiz masih relatif baru, kehidupan orang Kirghiz jauh dari kesan religius. Hampir tak ada orang yang bisa membaca huruf Arab. Jangan tanya soal shalat, puasa, atau larangan minum alkohol. Arti Islam direduksi hanya menjadi kalimat syahadat dan pantangan makan daging babi.

Suku Kirghiz tidak begitu membaur dengan orang Tajik, bangsa mayoritas di Tajikistan. Kendala utama selain budaya, agama, juga bahasa. Jarang sekali orang Kirghiz yang bisa bahasa Tajik, demikian pula sebaliknya. Walaupun dua bangsa ini sama-sama tinggal di Tajikistan, bahasa pemersatu mereka adalah bahasa Rusia. Orang Rusia datang menjajah seluruh penjuru Asia Tengah berabad silam. Mereka jugalah yang menciptakan sebuah negara bernama Tajikistan.

Nyonya pemilik warung sama sekali tidak bisa bahasa Tajik. Anak-anaknya, Naser (10 tahun) dan Aziz (8 tahun) bisa sedikit-sedikit bahasa Tajik karena diajari di sekolah. Umer, 5 tahun, anak tetangga, malah sama sekali tidak bisa sepatah kata pun bahasa Tajik. Negara Tajikistan memang baru berumur 15 tahun. Paham kebangsaan dalam sanubari etnis-etnis minoritas memang harus ditumbuhkan perlahan. Generasi muda Tajikistan, tak peduli dari etnis mana pun, memang harus bisa berbicara dalam bahasa nasional.

Alichur mengingatkan saya pada bebasnya hidup pengembara. Naser, Aziz, dan Umer sibuk bermain sepanjang hari. Mengejar gelindingan roda, naik-naik ke atas truk, dorong-dorongan, pukul-pukulan, dan mengejar-ngejar anjing yang ukurannya hampir sama tingginya dengan bocah-bocah itu. Mereka memang pemberani, sebagaimana seharusnya anak-anak gembala.

Hari ini Dudkhoda berjanji membawa saya ke Murghab dengan menumpang truk orang Kirghiz itu. Dia sibuk menaruh barang bawaannya ke dalam bak terbuka itu. Dua ikat besar kayu bakar. Supir-supir Kirghiz juga sibuk memeriksa kendaraannya sejak pagi tadi. Ada yang membuka kap mobil, menghidupkan mesin, melemparkan asap hitam ke pelukan langit biru. Truk-truk ini semua buatan Rusia, berlabel besar-besar : KAMA3, dibaca Kamaz. Ada tiga Kamaz yang dibawa supir-supir itu. Semua membawa hewan ternak. Truk-truk ini datang jauh-jauh dari Kyrgyzstan membawa batu bara untuk dijual di Tajikistan. Uang hasil penjualan batu bara mereka belikan kawanan sapi, kambing, dan sejenisnya untuk dipasarkan di negeri Kirghiz sana. Ini bisnis yang paling menguntungkan di sini.Sepanjang hari saya menunggu di dalam warung. Saya menghindari Dudkhoda, yang juga diam sedari pagi. Kami sama sekali tidak membahas apa yang terjadi semalam. Kali ini saya benar-benar butuh bantuannya di tengah orang-orang  Kirghiz yang asing ini.

Lama sekali supir-supir itu mereparasi Kamaz yang mogok. Seorang kakek tua dari Alichur datang ke warung, katanya ingin menumpang sampai ke Murghab juga. Kakek tua itu seakan datang dari dunia lain saja. Gurat-gurat di wajahnya mengesankan umurnya sudah lebih dari seabad. Jubah hitamnya mengantarkan aura kebesaran. Selapis kumis tipis dan sejumput jenggot, mengingatkan saya pada Genghis Khan. Topi bulunya benar-benar dari kulit hewan, menyatu dengan batok kepalanya, membuatnya seperti manusia berbulu hewan.

Saya ingin sekali melihat kakek dari zaman kemarin ini naik ke Kamaz. Pasti menjadi perpaduan yang indah antara masa kini dengan masa prasejarah. Tetapi sayang, supir-supir truk ini tidak menerima penumpang gratisan. Dudkhoda setidaknya menawarkan makan malam kepada supir Kamaz di Murghab nanti. Dan saya sebagai tamu Dudkhoda juga akan diangkut gratis. Tetapi tidak untuk kakek Kirghiz tua dengan kepala berbulu rubah.

Menjelang tengah hari, baru barisan tiga Kamaz ini berderet-deret meninggalkan Alichur. Saya bersorak girang. Melompat ke salah satu Kamaz. Duduk di samping saya adalah Dudkhoda, yang masih membuat saya diam seribu bahasa. Tak apa. Pemandangan di kanan kiri jalan sangat mengagumkan. Langit seakan tertangkup di atas kepala. Garis cakrawala bersambung dengan lekukan gunung. Jajaran gunung di kejauhan sana nampak hampir sama tingginya dengan Kamaz yang saya tumpangi. Entah kami sedang berada di ketinggian berapa, tetapi yang jelas tidak kalah dari puncak Semeru.

Kamaz, ibarat gajah di dunia hewan. Besar, tangguh, perkasa. Tetapi ia memang lambat. Berkali-kali raksasa jalanan ini mogok. Saya melompat turun. Jehangir, supir truk yang orang Kirghiz dan berbadan tambun itu sibuk membuka mesin. Penumpang harus turun. Saya dan Dudkhoda menggigil kedinginan. Angin di Pegunungan Pamir memang bukan tipe angin sepoi-sepoi untuk dinikmati. Setiap kali angin menerpa wajah saya, bulu-bulu hidung saya langsung membeku. Sakit sekali.

Murghab tak lebih dari 100 kilometer jauhnya dari Alichur. Tetapi perjalanan di tengah padang gembala dan gunung-gunung tinggi ini memakan waktu hampir seharian. Kamaz merayap lambat di atas Pamir Highway yang beraspal mulus. Ketika jalan mendaki, kendaraan ini memanjat pelan-pelan sambil menghembuskan gas buangan tanpa henti. Kalau jalan turun pun Kamaz juga harus merayap perlahan kalau tidak ingin tergelincir. Menjelang gelap rombongan Kamaz kami baru sampai di pintu gerbang kota Murghab.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com