Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (56)

Kompas.com - 22/05/2008, 07:07 WIB

Saya membayangkan, ratusan tahun lalu, ketika Bukhara adalah kota paling modern di tengah padang Turkestan, ribuan pria bersurban dan berjubah dari seluruh penjuru padang datang ke kota ini untuk menimba ilmu fikih dan sains. Siapa yang tak kenal dengan Imam Bukhari, yang tafsir hadistnya termasuk sahih yang paling dimuliakan? Siapa yang tak ingat dengan Abu Ibnu Sina, sang Bapa Kedokteran, yang juga dihormati di dunia barat sebagai Avicenna? Bait-bait indah pujangga Rudaki memperkaya khasanah kesusastraan Persia. Dan semuanya itu berawal di sini, di kompleks Masjid dan madrasah di seberang.

Madrasah Mir-e-Arab, Gerbang Arab, berhadap-hadapan dengan Masjid Kalon. Sekarang madrasah ini masih berfungsi, dan ribuan santri dari seluruh penjuru negeri datang belajar pelbagai ilmu agama.

Muhammad, putra imam besar Bukhara Abdul Ghofur, berwajah seperti orang Eropa. Bola matanya biru kehijauan, kulitnya putih bersih, dan rambutnya sedikit pirang. Tubuhnya agak kurus, namun tetap gagah berselimut chapan yang menghangatkan di musim yang menggigit tulang ini. Kepalanya tak pernah lepas dari kopiah putih berhiaskan sulam-sulaman tradisional.

            "Kopiah ini dari Indonesia dibawa oleh ayahanda waktu ke Indonesia dulu," ujarnya bangga. Perjalanan sang Imam mengunjungi masjid-masjid dan madrasah-madrasah di Jawa dulu adalah sebuah perjalanan yang fenomenal.
            "Di rumah ada foto-foto Indonesia. Negara kamu benar-benar indah," lanjut Muhammad.

Muhammad bekerja di masjid. Katanya baru-baru ini saja, setelah menikah, ia tobat dan kembali ke jalan yang benar. Dulunya, sang putra imam ini lebih banyak menghabiskan waktunya  bermain dengan kehidupan duniawi. Abang dan adik Muhammad semuanya aktif di madrasah dan masjid.

Perkenalan saya dengan Muhammad membuat saya semakin sering mengunjungi masjid ini, melihat aktivitas para santri muda selepas pelajaran di Madrasah. Saya hanya sekali berhasil melongok ke dalam Madrasah, karena sekolah agama ini punya aturan ketat – non-Muslim dilarang menginjakkan kaki. Itu pun sudah dibantu oleh adik Muhammad, Abdul Rauf, yang masih belajar di sana.

Sore hari, para santri dan anak-anak dari kampung sekitar bermain sepak bola di hadapan masjid. Kehidupan yang tertutup di balik tembok madrasah, kini berubah menjadi tawa ceria bocah-bocah yang berusaha memasukkan bola ke gawang – sebuah coretan berbentuk kotak persegi di tembok.

Diterpa sinar keemasan mentari senja, di sudut masjid, seorang calon imam sedang khusyuk membaca Qur'an Nur Karim. Jubah hitam membungkus tubuhnya, dengan kepala berbalut surban. Kekhusyukan yang maha tinggi, berpadu dengan siluet lengkung-lengkung kubah yang disiram semburat cahaya. Saya terbayang para cendekiawan Muslim Bukhara yang pernah menggemparkan dunia.

Kejayaan peradaban Islami itu perlahan-lahan bersinar kembali.


(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com