Ah Nguyen!
Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka “toloheor” (kata orang Sunda) alias play boy berat. “Aku yakin semua gadis
Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria
Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen “masih hidup” dan ada di pulau itu.
Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.
“Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John,” kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam.
“Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang,” kata John.
“Apa istimewanya sebuah jembatan?” Tanya saya.
“Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak.”
Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John. John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.
“Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi,” katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google
“Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘
John menoleh, “Kok Bapak Tahu?”
“Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!”
“Ah, Bapak malah lebih tahu!”
Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.
“Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu,” kata saya.
“Cantik, Pak, kita segera menuju ke
(bersambung)