Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (74)

Kompas.com - 17/06/2008, 13:11 WIB

            "Sangat mungkin," kata juru kunci, "kalau jenazah Ali yang demikian sucinya itu tidak hanya satu saja. Kalau jenazah Ali ada di sini, juga ada di Afghanistan sana, saya juga percaya." Sardor gembira sekali mendengar penjelasan sang juru kunci.

Turun dari puncak bukit, kami kembali ke lembah Shakhimardan. Desa ini cantik sekali, dikelilingi gunung-gunung cemara. Tetapi sekarang tempat ini menjadi seperti kota hantu. Rumah-rumahnya kebanyakan kosong.

Kata Sardor penduduk Shakhimardan lebih suka menghabiskan musim dingin di Uzbekistan, daripada di desa terpencil yang terkurung oleh Kyrgyzstan ini. Mereka baru berdatangan ketika musim ziarah tiba, manakala umat Muslim dari Uzbekistan dan Kyrgyzstan datang berliburan. Itulah musim bisnis di Shakhimardan.

Pasar Shakhimardan sangat mengenaskan. Sepi sekali. Bayangkan saja kalau sebuah truk harus melewati delapan pintu perbatasan, yang masing-masing minta sogokan, siapa lagi yang mau datang ke sini? Tak heran penduduknya pun lebih suka tinggal di Uzbekistan sana.

Masalah enklaf tidak hanya berhenti di sini. Selain Sokh yang menjadi persembunyian teroris dan memanaskan suhu politik regional, beberapa tahun lalu pemerintah Kyrgyzstan juga diminta rakyatnya untuk membujuk Uzbekistan 'mengembalikan' Shakhimardan. Walaupun tidak sampai terjadi pertumpahan darah, tak ayal rebutan wilayah, gontok-gontokan sejarah pra-Soviet, dan memanasnya hubungan antar negara. Uzbekistan malah sempat 'bercocok tanam' ranjau di sekitar perbatasannya.

Kyrgyzstan masih punya Barak yang 'terdampar' di Uzbekistan. Ditambah lagi Tajikistan yang punya Vorukh di Kyrgyzstan dan Sarvak di Uzbekistan, semakin menambah pusing peta politik Asia Tengah.

Bisa dibayangkan, betapa susahnya hidup bagi penduduk Shakhimardan. Ketika hubungan Uzbekistan-Kyrgyzstan memanas, kampung ini terisolasi total. Bahkan dulu orang Uzbek yang mau ke sini harus punya exit permit (semacam izin untuk keluar dari negaranya sendiri) plus visa Kyrgyzstan yang harganya 20 dolar.

Semua repot-repot ini bermunculan ketika negara-negara Asia Tengah merdeka dan berdaulat. Betapa mudahnya dulu hidup di bawah naungan Uni Soviet, ketika batas-batas negara ini dulu tak ada bedanya dengan batas propinsi, bisa dilewati begitu saja sekehendak hati tanpa paspor dan visa.

Empat puluh lima menit memang singkat. Kami harus kembali lagi ke Uzbekistan kalau tidak mau terlilit masalah dengan tentara Uzbekistan. Kami harus melewati jalan yang sama, dengan pintu-pintu perbatasan yang sama pula.

Qadamjoy berlalu begitu saja. Tak ada masalah, sampai di dekat perbatasan Kirghiz di mana Bakhtiyor harus memanggil taksi untuk melintaskan kami sampai ke Uzbekistan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com