Supir taksi memandangi saya dan Sardor lekat-lekat, sebelum mengizinkan kami naik ke mobilnya.
"Tidak ada obat-obat terlarang? Narkotik?"
"Tidak ada," jawab Sardor.
"Bukan teroris?"
"Bukan."
"Lalu mengapa kamu harus pakai jalan seperti ini?" tanya supir Kirghiz itu penuh selidik.
"Karena kami tidak punya paspor." "Davai. Ayo berangkat."
Tidak punya paspor di sini tidak dosa.
Kami melewati perbatasan Kyrgyzstan. Seketika huruf-huruf Rusia berubah wujud menjadi huruf latin ketika perjalanan memasuki Uzbekistan. Lega sekali. Akhirnya kami pulang dengan selamat.
Ups. Uzbekistan bermula di jalan sebelah sana, membentang sejajar dengan jalan yang kami tempuh sekarang ini. Kami sekarang masih berada di dunia Kyrgyzstan. Uzbekistan hanyalah dunia maya yang terpampang di seberang pelupuk mata.
Taksi memberhentikan kami di sebuah tanah pekuburan di tepi jalan. Berjingkat-jingkat kami melintasi tanah lapang ini. Kalau sampai terlihat tentara, kami berdua pasti dapat kesulitan. Apalagi saya yang orang asing. Sekarang kami berada di antara dua dunia. Jalan raya di sebelah kanan membentang adalah Kyrgyzstan. Di sebelah kiri adalah perkampungan Uzbekistan, 'rumah' kami.
Sebuah pintu kayu kecil terbuka di ujung pekuburan. Pintu reot ini adalah gerbang menuju Uzbekistan. Di balik pintu, kami terdampar di sebuah pekarangan mahalla, rukun desa ala Uzbek. Saya menghela nafas lega. Sampai juga di Uzbekistan dengan selamat. Berakhirlah petualangan penyelundupan kami.
Saya mengintip lagi ke arah Kyrgyzstan, negara di pekarangan belakang rumah Uzbekistan.
(Bersambung)