Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (159): Hindko

Kompas.com - 16/03/2009, 08:02 WIB

           “Iya. Sudah tidak perlu sungkan lagi,” kata Samera.

Hafezah menyembulkan senyum di wajahnya yang bundar.

Saya meletakkan telunjuk ke telinga kiri, kemudian ke telinga kanan, berulang-ulang sebanyak tiga kali, sambil mengucap, “tobah...tobah...”, gestur penduduk setempat setelah melakukan dosa. Para wanita itu tertawa lepas melihat kekikukan saya.

          “Kamu sudah bukan tamu lagi,” kata Hafizah, “kamu sudah benar-benar dianggap anggota keluarga. Lihat, kami tadi tidak memberi kamu makan waktu pengajian tadi, kan? Sekarang kamu makan bersama kami, karena kamu bagian dari rumah ini.”

Mereka memang sudah menghancurkan dinding tembus pandang yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Sudah lama saya tak melihat wanita tertawa begitu lepas seperti ini. Saya sekarang berada di sebuah sudut rumah, bercanda bersama kaum wanita yang bukan muhrim, sesuatu yang nyaris mustahil bagi pria lainnya di Pakistan. Segala macam gurauan, mulai dari yang konyol, kasar, sampai jorok, terus mengalir tanpa henti. Saya juga baru tahu kalau perempuan Pakistan, dari balik kerudung dan purdah, ternyata punya koleksi kata-kata umpatan yang tidak kalah dahsyatnya.

          “Ayo, sekarang kamu harus belajar bahasa Hindko,” kata Samera. Hindko adalah bahasa setempat yang masih berkerabat dengan bahasa Punjabi, dan masih tidak terlalu jauh jaraknya dari bahasa Urdu sehingga saya masih bisa menebak-nebak artinya. Hindko, secara harafiah berarti ‘gunung India’, adalah bahasa lokal yang banyak digunakan di Pakistan Utara. “Kalau kamu bisa bahasa Hindko, kamu sudah jadi penduduk Noraseri kelas satu,” Samera terus meyakinkan.

Samera kemudian mengucap kalimat Hindko, “Tum julsi? Men na julta. Tum ko pata? Mu ko ni pata.” Artinya, ‘Kamu pergi? Saya tidak pergi. Kamu tahu? Saya tidak tahu.’ Saya kemudian mengulangi barisan kata-kata itu, yang langsung disambut ledakan tawa seluruh rumah. Mungkin karena logat saya yang masih hancur.

Orang-orang Noraseri ini memang punya selera humor yang sukar saya pahami. Mereka sering tertawa lepas untuk gurauan-gurauan yang entah di mana lucunya. Sejak beberapa minggu lalu, pemuda desa punya kebiasaan baru dalam mengucap salam setiap kali bertemu. Pertama-tama salah seorang berseru, “Mari pergi ke Barhean!”, yang disambut dengan jawaban, “Saya mencegat mobil, tetapi tidak ada yang berhenti!”, yang kemudian disambung tawa tanpa henti dari kedua belah pihak. Apa yang lucu? Hanya orang desa ini dan Tuhan yang tahu.

Konon orang Noraseri terkenal dengan keramahtamahan dan kebiasaan bercanda yang berlebihan. Tetapi, sudah sekian lama saya di sini, saya masih belum bisa mencerna pula karakter candaan mereka. Saya hanya ikut tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya saya tertawakan.

Tetapi ternyata saya tak sendirian. Hafizah mencibir, “Benar-benar orang bodoh, tertawa tanpa sebab. Apanya yang lucu dengan ‘pergi ke Barhean’ atau ‘Kamu tahu? Saya tidak tahu”.. Orang-orang sini sekarang mulai bertahan hidup dengan mentertawakan ketotolan yang maha bodoh!”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com