Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (167): Negeri Para Petarung (3)

Kompas.com - 26/03/2009, 04:49 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

 

          “Kamu percaya dengan segala kebohongan itu? Tidak benar itu. Orang Kandar bukan petarung seperti yang kamu bayangkan,” kata Behsar, pria Kandar berumur 24 tahun, “lagipula desa-desa yang kamu lihat sama sekali bukan Kandar!” Saya dalam perjalanan mencari jawaban misteri orang Kandar, dan kini terperangkap dalam kebingunan antara kenyataan, drama, dan mitos.

Tubuh saya sudah banjir keringat ketika kami sampai di sebuah desa yang menurut Farman adalah desa Kandar Tengah. Di sinilah Behsar, pemuda yang bahasa Inggrisnya fasih sekali, membongkar habis semua serpihan tentang misteri orang Kandar yang saya kumpulkan sepanjang perjalanan. “Orang Kandar adalah orang yang ramah tamah, tetapi mereka sangat miskin. Kami tidak berkelahi. Mungkin memang ada orang yang suka berkelahi, jumlahnya tak lebih dari 25 orang, mungkin. Dan mungkin orang-orang inilah yang membuat reputasi Kandar hancur.”

Jadi, yang dari tadi mengaku sebagai jago petarung dari Kandar, sama sekali bukan orang Kandar? Behsar menggeleng. Wajahnya tak berkumis dan berjenggot. Gerak-geriknya penuh percaya diri, yang malah membuat saya semakin ragu dengan segala pembicaraan yang sudah saya catat. Saya juga mulai terngiang-ngiang ucapan dokter Zaman, yang mengingatkan bahwa Farman sangat mungkin malas membawa saya sampai ke Kandar, dan sebagai gantinya akan membawa saya ke desa-desa lain yang jalannya mudah.

Membingungkan. Seorang warga desa yang lain malah dengan bangga bercerita tentang serunya berkelahi dalam pesta pernikahan. “Kami ini miskin. Kami lapar. Tetapi kami suka makan, apalagi makan daging. Dan itulah sebabnya kami pergi ke pesta pernikahan,” ujar kakek bersurban ini menjustifikasi kegemaran mereka berkelahi. “Dezim-dezim itu mutlak, kalau tidak kami tidak kebagian makanan.”

Saya jadi sangat tertarik menghadiri acara pesta pernikahan orang Kandar. Pasti seru sekali dengan acara pukul-pukulan, tendangan, dan segala jenis bunyi dezim-dezim, hanya untuk berebut sesuap nasi pullao atau sepotong daging ayam. Katanya pernah acara perkelahian ini tidak sengaja terekam dalam handycam seorang tamu dari desa seberang, dan reputasi orang Kandar sebagai jago berkelahi semakin mantap.

Tetapi cita-cita saya untuk menyaksikan sendiri acara pernikahan di Kandar langsung kandas. “Tidak ada pernikahan di sini,” kata penduduk desa yang lain, “sehabis gempa, kami hidup menderita. Tidak ada uang, tidak ada rumah. Bahkan helikopter pun tidak datang lagi membawa bahan makanan. Tidak ada organisasi asing yang menyalurkan bantuan. Jadi tidak ada pesta nikah-nikahan sekarang, untuk hidup saja susah.” Sangat kontras dengan desa-desa di bawah gunung yang semakin semarak dengan datangnya musim kawin selepas masa berkabung bulan Muharram.

Kakek tua di desa ini berwajah garang. Pakaiannya juga jubah shalwar kamiz, tetapi semakin gagah dengan syal putih dan topi pakkol. Syal ini, kalau dililitkan di sekitar topi, berubah wujud menjadi surban yang menyiratkan aura keganasan suku petarung. Tangan kirinya memegang tongkat, yang selain membantu berjalan juga berfungsi sebagai alat pemukul lawan. Tangan kanannya memanggul senapan laras panjang. Kalau lelah tinggal bersuit, dan datanglah bocah kesayangannya membantu sang ayah membawa bedil.

Inilah kebanggaan orang Kandar – surban, tongkat, bedil, dan bocah. Keempat barang yang selalu dibawa bahkan hanya untuk menggembalakan kawanan kambing, yang kini merumput dengan nikmat di lereng gunung yang menghijau.

Bocah-bocah Kandar juga tidak kalah liarnya. Melihat orang asing yang datang, mereka langsung menghambur ke arah saya seperti kesetanan. Saking buru-burunya, sampai ada bocah kecil yang memakai sepatu cantik milik ibunya atau bibinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com