Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (175): Air Mata yang Tergenang

Kompas.com - 07/04/2009, 09:22 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

KOMPAS.com — Dikisahkan dalam hikayat Brahmana, Dewa Shiva (Syiwa) menangisi kematian istri tercintanya, Sati, yang mengorbankan nyawanya demi kehormatan sang Dewa. Setetes air mata jatuh di Pushkar, satunya lagi di Katas. Yang satu menjadi tempat pemujaan para umat, satunya lagi menjadi genangan air dikelilingi puing-puing kuil tua.

Katas, kota kecil di Provinsi Punjab, hanya sekitar 135 kilometer jauhnya dari Islamabad. Tetapi di sini, hiruk pikuknya kota modern itu bagaikan kehidupan di dunia lain. Kotanya sendiri biasa saja, tidak semrawut, tapi tak juga istimewa. Yang membuatnya menarik dikunjungi adalah reruntuhan kuil Hindu kuno di puncak bukit.

Adalah sebuah legenda indah yang mengawali sejarah kuil kuno ini. Dikisahkan, Suti, istri Dewa Syiwa, membakar dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya kepada Syiwa.  Suti melakukan ini semata-mata untuk melawan ayahandanya yang tidak menghormati Syiwa. Teladan Suti kemudian masih berlanjut di India berabad-abad kemudian, ketika janda-janda Hindu yang baru ditinggal mati suaminya ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenazah sang suami. Kata ‘Suti’ kemudian merujuk kepada kegiatan bunuh diri janda Hindu. Bahkan hingga awal abad XX, kebiasaan bakar diri janda Hindu ini masih hidup di Pulau Bali.

Nama Katas berasal dari Katahsah, berarti sumber air mata. Dewa Syiwa menangisi kepergian Suti. Air matanya menetes, turun ke bumi. Setetes jatuh di Pushkar, sekarang menjadi danau suci umat Hindu pemuja Brahma untuk membasuh diri dari dosa. Setetes lagi di Katas, kini menjadi tempat berenang pemuda desa sekitar, tergenang kesepian dikelilingi reruntuhan kuil kuno yang terlupakan.

Berkunjung ke Katas rasanya seperti menemukan sebuah misteri peradaban yang ditinggalkan begitu saja. Kuil ini, yang didirikan pada abad X, pastinya pernah menjadi tempat pemujaan penting. Luas sekali kompleks bangunannya. Arsitekturnya cukup rumit dan detail, menunjukkan bahwa barisan kuil di sini dibangun dengan segenap jiwa dan perhitungan yang cermat. Bahkan, walaupun sudah berwujud reruntuhan, ada aura kemegahan yang terpancar.

          “Sekarang sudah tidak ada umat Hindu lagi di sini,” kata seorang pemuda Katas, “sudah tidak ada orang yang beribadah. Dan tempat ini terlupakan.”

Terlupakan. Terbengkalai. Ditelan zaman. Itulah takdir kuil agung Katas Raj ketika sebuah negara bernama Pakistan berdiri di muka bumi ini tahun 1947. Ketika itu, sebuah garis nasib digambarkan di atas peta bumi. Di bagian barat itu adalah negeri bernama Pakistan, di sebelah timurnya adalah Hindustan.

Manusia yang bukan berada di tempat yang tempat berbondong-bondong menyeberang garis, menuju negeri yang disediakan bagi masa depan mereka. Umat Muslim berdatangan dari tanah Hindustan, umat Hindu dan Sikh meninggalkan negeri Pakistan.

Katas adalah sebuah kota yang semula penuh dengan para pemuja dewa-dewi. Tetapi garis telah digambar oleh para penjajah Inggris itu, tanah Punjab terbelah menjadi dua bagian, dan Katas berada di dalam lingkar wilayah Pakistan. Para pemuja Syiwa mengosongkan tempat ini. Sekarang yang tinggal adalah kaum Muslimin yang tak mengenal siapa itu Suti, Syiwa, dan para pahlawan dalam epos Mahabarata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com