Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (177): Simetris

Kompas.com - 09/04/2009, 10:12 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Bukalah peta dunia. Tengoklah bagaimana bumi kita dibagi-bagi menjadi bidang berwarna-warni, dibatasi oleh garis hitam tebal yang dijuduli garis batas negara. Di atas peta garis-garis ini hanya coretan yang membatasi warna bidang negara. Di atas bumi yang sesungguhnya, garis ini memisahkan takdir dan jalan hidup manusia-manusia yang hidup di kedua sisinya.

Empat bulan yang lalu, saya memandangi perbatasan ini di India, larut dalam ingar-bingar gelora nasionalisme ribuan pesorak. Setiap sore, perbatasan ini menjadi ajang persaingan semangat kebangsaan ketika bendera kedua negara diturunkan dan pintu gerbang pembatas ditutup rapat. Sekarang, saya berada di perbatasan ini lagi, bersama para pendukung Pakistan. Yang saya rasakan – sepi.

Panasnya matahari Punjab membuat debu jalanan lengket di atas kulit yang bersimbah peluh. Saya melangkah dengan bangga dalam balutan shalwar dan kamiz yang sudah lusuh tak pernah dicuci. Pintu gerbang Pakistan berwarna hijau dengan bertahta bulan sabit dan bintang berwarna putih, seperti lambang benderanya.

Di seberang batas, nampak orang India melimpah ruah di podium besar di sisi utara dan selatan. Lautan manusia dengan berwarna-warni pakaian membentuk mozaik yang indah, membludak mengisi setiap jengkal ruang.. Bendera India berkibar-kibar di antara kerumunan orang itu. Ada band musik, tentara berseragam, bocah-bocah sekolah, perempuan bersari, pemuda dengan beragam model pakaian dan jaket, semua ada.

Di sisi Pakistan, pengunjungnya cuma sedikit. Itu pun masih dipisah menjadi dua podium, seperti biasa, satu untuk laki-laki satu untuk perempuan. Suami terpisah dari istri. Abang terpisah dari adiknya. Untuk turis asing dan tamu istimewa ada tempatnya sendiri, di dekat gerbang perbatasan, supaya dapat menyaksikan pemandangan terbaik. Orang Pakistan memberikan terlalu banyak penghormatan bagi orang asing. Sedangkan di India dulu saya ingat pernah tergencet di tengah kerumunan orang yang semuanya tak mau mengalah.

Tetapi walaupun pendukungnya sedikit, bukan berarti tak ada semangat di sini. Seorang kakek tua, Mehruddin, 78 tahun, pedagang sayuran di pasar Lahore, datang ke sini tiap hari untuk membangkitkan sorak-sorai pendukung Pakistan yang cuma segelintir ini. Ia berbaju hijau dengan gambar bulan sabit dan bintang, tertulis dalam huruf Urdu: “Pakistan Zindabad! Hidup Pakistan!”

Dari arah India terdengar gemuruh, “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad!”

Di sisi Pakistan orang pun tak mau kalah, “Pakistan Zindabad! Pakistan Zindabad!”

Tetapi di sini slogan-slogan bernada religius lebih mendominasi, seperti seruan kalimah syahadat. Jangan lupa, Pakistan adalah negara yang berdiri atas dasar agama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com