Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (181): Kota Panas dan Debu

Kompas.com - 15/04/2009, 07:56 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Kota ini tersohor karena empat g – garam (panas), gard (debu), garra (pengemis) dan goristan (kuburan). Dua ‘g’ yang pertama sudah cukup membuat saya terkapar di dalam kamar losmen yang pengap.

Meninggalkan nyamannya kota Lahore sungguh berat. Saya terpaksa berpisah dengan nikmatnya malam di pasar makanan Anarkali, diskusi politik dan agama dengan kawan-kawan dari Universitas Punjab, musik qawwali di kuburan Sufi, petualangan di lorong sempit dan gelap kota kuno. Visa Pakistan saya sudah hampir habis lagi, dan masih banyak sisi lain negeri ini yang ingin saya tengok.

Bagaikan film India ketika saya mengucap salam perpisahan dengan kawan-kawan Lahori. Saya sengaja memilih bus yang berangkat tengah malam dengan perhitungan sampai  Multan tepat ketika pagi dimulai, untuk mengirit biaya penginapan. Tetapi Asad tak sampai hati melihat saya berangkat malam-malam begini. Mahasiswa berbadan kurus itu bersikukuh untuk mengantar saya sampai ke terminal bus, walaupun harus menanggung resiko ditempeleng bapaknya yang pasti akan marah kalau ia pulang terlambat.

Ia membantu saya mencegat bus kota. Asad bahkan mau membawakan tas ransel di punggung saya, tetapi saya tak sampai hati menambah bebannya. Hasilnya sungguh tak terduga. Asad malah diomeli penumpang lainnya.

          “Mengapa kamu tidak bawakan tasnya yang berat itu? Dia kan mehman, tamu,” orang-orang berjubah serentak menasihati Asad.

Mereka bahkan memarahi kondektur yang menarik karcis dari saya. Di negara ini konsep mehman begitu mendarah daging. Asad hanya tersipu malu. Saya pun malu.

Saya sampai di Multan pukul 8 pagi setelah perjalanan sembilan jam di atas bus yang merayap lambat. Wajarlah lambat sekali, karcisnya cuma 150 Rupee. Walaupun masih pagi, terik matahari sudah sangat menyengat. Tak pernah saya rasakan panas dan kering yang begitu membakar seperti ini. Dan tubuh saya terlalu lemah karena tidur di bus sepanjang malam juga tak mengenakkan.

Debu mengepul di mana-mana. Apakah benar ini kota Multan yang disebut-sebut sebagai kota suci dari Punjab itu? Saya hanya melihat rumah-rumah jelek di pinggir jalan bolong. Tempat ini begitu terpencil. Sungguh saya tak melihat tanda-tanda kota agung yang dimuliakan sejarah.

          “Kota Multan masih dua kilometer lagi,” kata seorang pejalan kaki yang ramah. Ia membantu saya mencari angkutan ke pusat kota.

Sebuah mobil angkot melintas. Keneknya, berjubah putih, melihat saya membawa tas ransel yang berukuran lumayan besar, langsung menolak mengangkut. Kawan yang baru saya kenal di pinggir jalan ini tak terima. Ia menyumpahi sang kenek dengan kata-kata kasar. Isinya kira-kira, tak pantas untuk berbuat seperti itu terhadap mehman yang datang dari negeri seberang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com