Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (186): Anak Muda

Kompas.com - 22/04/2009, 08:02 WIB

Sore hari, ketika matahari sudah mulai berkurang teriknya, Amir mengajak saya berkeliling kota naik sepeda motor. Ia mengajak kedua sepupunya, dan beberapa kawan lainnya. Jadilah saya ikut geng sepeda motor yang kerjanya kebut-kebutan di jalan tanpa helm. Saya hanya bisa pasrah pada boncengan Amir. Gaya menyetirnya parah sekali. Matlab, sekali tancap gas, ngebut, pelan, ngebut lagi, pelan lagi. Selain berisik juga menjengkelkan pengendara lainnya. Matlab, di tengah jalan ramai masih sempat berzigzag. Ia bahkan memperagakan bertumpu pada satu roda, membuat jantung saya hampir copot ikut serta kawanan geng ini.

Tetapi satu hal yang saya suka dari Amir, orangnya jujur dan tidak munafik. Ia tak menutupi kebiasaan buruknya dengan apologi agama atau budaya. Misalnya tentang pacarnya di Faisalabad yang rajin menelpon. Punya pacar di Pakistan termasuk daftar kebiasaan buruk yang biasanya tak diceritakan pada orang lain. Walaupun demikian, Amir masih gemar main perempuan. Kalau ke Lahore tempat favoritnya tentu saja Heera Mandi. Kalau tak ada cewek, bocah pun jadi. Matlab, Amir bisa memperoleh kepuasan dari semua jenis pemuda dan pemudi. Bahkan gadis bercadar pekat dari ujung kepala pun masih ia goda.

Kebiasannya, kalau ada sesosok tubuh perempuan yang lewat di jalan sendirian, asalkan bukan memakai burqa yang menutup mata, pasti Amir dan sepupu-sepupunya ramai membunyikan klakson. Gadis-gadis itu biasanya cuek saja, karena perempuan teriak-teriak di jalanan sungguh memalukan. Bagi Amir, mengklakson gadis sampai mereka ketakutan atau jengkel sudah merupakan hiburan tersendiri.

Bukankah kita harus menghormati perempuan yang sudah membungkus diri rapat-rapat dengan purdah?

          “Kalau begitu caranya, bisa-bisa kita tidak punya mainan lagi,” tangkis Amir.

Mungkin itu pula sebabnya kadang Amir juga menyalurkan nafsunya dengan laki-laki. Matlab, tak ada cinta, hanya penyaluran belaka.

Hobinya yang lain adalah mengunyah pan, buah pinang yang disiram bumbu dan dibungkus daun, dikunyah seperti sirih, lalu diludahkan. Hasilnya, gigi dan bibirnya merah seperti habis minum darah. Kalau anak muda Indonesia tak pernah menganggap mengunyah sirih sebagai kebiasaan yang cool, bagi Amir justru itu lambang kemachoannya dan kegagahannya. Saking doyannya mengulum pan, Amir menyebutnya sebagai achar – acar. Pan juga adalah favorit Amir untuk menemani minum alkohol.

Malam itu saya diajak Amin berkumpul dengan gengnya, di rumah sepupunya yang kebetulan lagi kosong karena bapak ibunya sedang keluar kota. Jadilah malam ini, malam sharbat. Arti harafiah sharbat adalah sirup, tetapi bagi Amir sirup ini jauh lebih nikmat – arak bening yang memabukkan.

Pesta mabuk-mabukan ini dimulai pukul 10 malam. Di Pakistan, Republik Islam yang menerapkan aturan Syariah, jual beli minuman beralkohol melanggar hukum. Orang asing bisa membeli bir di kota besar, itu pun kalau punya sertifikat dari kementrian. Lalu dari mana Amir dan kawan-kawannya mendapatkan bahan bermabuk ria ini?

           “Di dekat sini ada kampung orang Kristen,” jelas seorang anggota geng, “mereka sembunyi-sembunyi bikin arak di rumah mereka. Lalu dijual.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com