Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (202): Negeri Berselimut Debu

Kompas.com - 14/05/2009, 11:06 WIB

Baginya, Pakistan dan Afghanistan hanya punya arti yang teramat simpel – debu. Tak lebih.  

Saya melihat ada kekecewaan di mata Wahid. Ada hujatan yang selalu meluncur terhadap segala macam kebodohan orang-orang senegaranya, yang semakin lama semakin bobrok dibungkus debu.

Tiba-tiba suaranya melengking tinggi.

          "Lihat ini. Kalau kamu punya jenggot, berarti kamu Muslim. Kalau tidak punya jenggot, berarti kafir. Inikah ajaran Islam?"

Wahid sendiri mencukur wajahnya bersih-bersih. Ia mengenakan kaus ketat dan celana jeans yang juga ketat. Di Afghanistan, Taliban pernah melarang pakaian seperti ini dan memaksa semua pria berpakaian shalwar kamiz, memakai penutup kepala, dan memelihara jenggot. Kalau pakai surban lebih bagus lagi. Wahid sama tidak setuju dengan kebijakan tak masuk akal seperti ini. Dengan mantap ia menunjuk dada kanannya, "Agama itu di sini!"

Saya agak terkejut dengan ceramahnya yang serta merta. Semula dia mengira saya orang Afghan etnik Hazara. Mana ada ada orang asing yang berpakaian shalwar kamiz datang mengemis visa Afghanistan. Dia juga terkejut setelah saya bilang saya orang asing yang benar-benar ingin belajar dari negeri Afghan. Dia mulai berceramah panjang penuh kritik dan sindiran. Ia menyoal kecintaan saya terhadap Pakistan, shalwar dan kamiz abu-abu yang melekat di tubuh saya, hingga kesintingaan saya untuk pergi ke Afghanistan, yang menurutnya tak lebih dari kepulan pasir dan debu.

Olok-oloknya terhadap manusia-manusia yang hidup diselimuti debu ini terus berlanjut. Peshawar, kotanya orang Pashtun, seperti kota khusus laki-laki. Perempuan hampir tak terlihat sama sekali. Kalaupun ada perempuan yang keluar, tubuhnya terbungkus rapat dalam purdah hitam pekat. Hanya mata galak yang tampak.

Saya dengar mullah sudah mulai menganjurkan para wanita untuk mengenakan kaca mata hitam dan sarung tangan, bahkan untuk bertemu saudara sepupu sekali pun. Ada lagi busana wanita yang cukup favorit di Peshawar, yaitu burqa, semacam kain yang mengurung tubuh perempuan dan hanya menyisakan jejaring kecil di bagian mata. Siapa pun yang berada di bawah bungkusan ini tak bisa dikenali lagi identitasnya.

           "Apa gunanya?" tanya Wahid, "Tak peduli perempuan dibungkus dalam purdah seperti apa pun, orang yang memang sudah rusak moralnya pasti masih bisa membayangkan lekuk-lekuk tubuh molek perempuan."

Interaksi pria dengan perempuan sangat terbatas. Yang ada hanya fantasi-fantasi yang bergelantungan. Dan fantasi-fantasi itu justru membawa orang ke dosa yang lebih besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com