Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meretas Sulitnya Berkomunikasi

Kompas.com - 15/01/2010, 17:10 WIB

“Memang bahasa negara kamu mudah sesuai dengan otak bangsanya,” jawab dia sambil bercanda.

Saya tersinggung sekali waktu itu. Setengah berang saya katakan bahwa bahasa Indonesia sengaja dibuat tidak njelimet karena kecemerlangan akal bapak pendiri bangsa. Bahasa nasional ini menyatukan masyarakat di 17.500 pulau dan memiliki lebih dari 200 bahasa daerah. Kalau bahasa nasionalnya njelimet akan sulitlah rakyat Indonesia yang sangat heterogen ini berkomunikasi. Alasan ini sebenarnya saya cari-cari saja, habis telanjur kesal.

Sindiran demi sindiran yang terlontar dari mulutnya tak juga berhenti. Hati yang tadinya adem ayem jadi memanas juga dan akhirnya memuncak. Suatu hari saya sungguh tak tahan lagi mendengar celotehannya tentang kami orang Asia. Saya beranjak dari kursi dan keluar meninggalkan kelas. Cukup sudah telinga saya menerima hinaan darinya. Saya menghadap direktur kampus meminta pindah kelas dan diizinkan. Dua teman saya yang lain akhirnya ikut pindah kelas juga.

Hingga kini dosen itu masih mengajar di kampus tersebut. Entah apa yang terjadi kemudian antara dia dan direktur jurusan. Saya memilih tak memperpanjang persoalan. Yang penting saya sudah tidak lagi mendengar celotehnya yang bikin panas kuping ini.

Tak lagi terasing

Setelah tiga tahun belajar akhirnya saya berhasil melewati ujian dengan nilai yang baik. Tahun pertama memang tahun-tahun pahit, terutama pengalaman bersama dosen yang tidak simpatik. Namun, setelah itu hanya pengalaman manis yang saya dapatkan: dosen yang simpatik, teman kuliah yang menyenangkan, dan mata kuliah yang meninggalkan kesan mendalam.

Di tahun terakhir saya mengambil mata kuliah bebas: teater. Saya manggung, memainkan satu peran dalam bahasa Perancis. Bahasa yang dulunya hanya terdengar sebagai gumaman tidak jelas kini scara spontan bisa terucap lancar dari mulut Indonesia saya.

Saya tak bisa melupakan sosok seorang dosen yang saya kenang sebagai orang baik yang mendorong saya bersemangat belajar bahasa Napoleon Bonaparte ini. Saya masih ingat nasihatnya, “'Tak bisa berkomunikasi padahal kamu hidup di dalamnya sama saja dengan menjadi cacat, apakah kamu mau membiarkan dirimu yang sehat menjadi cacat?”

Saat saya berusaha mati-matian agar logat Asia saya terhapus saat saya berbicara Perancis, dosen saya itu  berujar, “Tak penting bagaimana cara dan logat kamu berbicara dalam suatu bahasa, karena logat kamu adalah gambaran dirimu. Jutsru itulah keunikannya.”

Saya akui, sejak bahasa Perancis terlontar baik dari mulut saya, rasanya hidup jadi terasa lebih ringan. Saya merasa lebih bebas dalam beraktivitas dan tak takut lagi ketika harus berbicara dengan seseorang. Saya tak bisa berkata bahwa kehidupan saya jadi indah karena saya sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Hanya, memang terasa berbeda.

Masyarakat Perancis sangat menghargai orang asing yang berkomunikasi dalam bahasanya.  Berbeda sekali memang, dulu saya merasa mata mereka sering menyipit jika saya ajak bicara dalam bahasa Inggris, sekarang kerap kali pundak saya ditepuk-tepuk menandakan keakraban.

Hubungan bisa terjalin dengan manis karena komunikasi yang baik dan lancar. Begitu juga hubungan saya dengan negara kedua saya ini. Saya tak lagi merasa terbuang dan Perancis tak lagi terlalu asing di mata saya.

Menguasai bahasa setempat memang memudahkan kita dalam menyibak tradisi kebudayaan negara itu dan mengenal masyarakatnya. Sepuluh tahun tinggal di sini mungkin waktu yang tidak singkat. Tapi, sepuluh tahun terlalu singkat untuk mengenal Perancis sepenuhnya. Saya merasa masih membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyingkap sejuta warna lain negeri ini dan membagikan cerita itu kepada Anda.


Selesai

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com