Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nostalgia Kisah Stasiun Klasik

Kompas.com - 28/11/2011, 17:14 WIB

Agnes Rita S

Di stasiun orang bertemu dan berpisah. Tak cuma tempat perhentian kereta api, keindahan arsitektur stasiun buatan Belanda di Jakarta dan Bogor masih menarik untuk dinikmati hingga kini. Di bawah atapnya kita bisa menggali lagi kenangan dan sejarah yang tak lekang oleh masa.

Nostalgia bisa dimulai dari Stasiun Jakarta Kota, yang juga dikenal sebagai Stasiun Beos, singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij. Bentuk langit-langit peron yang melengkung dan tinggi menjulang merupakan salah satu ciri khas stasiun ini.

Stasiun Beos dibangun sekitar tahun 1870. Tempat inilah jantung transportasi kereta api yang menghubungkan Batavia dengan kota lain, seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), dan Karavam (Karawang).

Tak jauh berbeda, kini Stasiun Beos menjadi tempat pemberhentian akhir kereta api dari Tangerang, Bekasi, dan kereta api jarak jauh dari kota-kota lain di Jawa. Stasiun Beos telah dijadikan bangunan cagar budaya.

Bangunan art deco karya Frans Johan Louwrens Ghijsels itu menggunakan rangka atap berbentuk butterfly shed (kupu-kupu) dengan penyangga kolom baja. Dinding warna coklat bertekstur kasar, juga lantai keramik membawa kesan sederhana, tetapi justru indah. Ruang-ruang di stasiun kini digunakan untuk kantor dan tempat pembelian tiket.

Kesibukan di stasiun kental terasa. Angin berembus dari arah jajaran rel ke selasar tempat tunggu penumpang, membawa serta suara bel pengumuman, deru mesin kereta, dan percakapan ribuan orang di tempat itu. Barangkali kesibukan serupa terjadi di masa lalu.

Tanjung Priuk

Perhentian berikutnya adalah Stasiun Tanjung Priuk (bukan Priok, seperti tercantum pada batu nama cagar budaya). Inilah salah satu saksi sejarah yang masih berdiri kokoh di ujung perlintasan kereta.

Stasiun Tanjung Priuk dibangun pada 1914 semasa pemerintahan Gubernur Jenderal AFW Idenburg (1909-1916), dan diresmikan 6 April 1925. Elektrifikasi kereta mulai diresmikan pertama di stasiun ini. Pada masa itu, Batavia termasuk kota pertama yang menerapkan elektrifikasi kereta sebagai ganti kereta uap.

Peran Stasiun Tanjung Priuk ini cukup sentral karena pelabuhan Pasar Ikan juga digeser ke Pelabuhan Tanjung Priok yang lebih luas sehingga kapal bersandar di pelabuhan ini.

Stasiun seluas 34.134 meter persegi ini memiliki delapan jalur kereta, menggambarkan sibuknya stasiun kala itu. Selain mengangkut barang, kereta juga menjadi sarana transportasi yang nyaman dan aman bagi mereka yang akan ke pelabuhan.

Dengan konstruksi kuat dan indah, stasiun ini kokoh hingga kini. Bentuk arsitektur karya Ir CW Coch ini masih mengundang decak kagum. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang dengan atap penutup dari beton. Hiasan kaca patri dan ornamen profil keramik pada dinding semakin menambah kecantikan interior stasiun.

Begitu masuk dari pintu utama, berderet loket penjualan tiket. Lalu, ada ruangan besar semacam serambi dengan jarak langit-langit sekitar 20 meter. Beberapa ruangan tanpa pintu terletak di kiri dan kanan ruangan besar itu. Ruang tunggu stasiun menghadap ke jalur rel kereta. Kesibukan Stasiun Tanjung Priuk kini jauh berkurang. Stasiun megah ini terasa kosong. Kereta jarak jauh yang berangkat dari stasiun ini hanya Kertajaya tujuan Surabaya. Dua kereta lokal berangkat untuk tujuan Purwakarta dan Cikampek. Tiga kereta rel listrik (KRL) berangkat dari Tanjung Priuk, sementara dua KRL dari Bogor sampai Tanjung Priuk hanya hari Minggu.

Bogor

Jalur kereta Jakarta-Bogor terbentuk seiring ramainya aktivitas di Bogor. Selain sebagai tempat istirahat, Bogor juga memiliki Departemen Pendidikan, Departemen Pertanian, Kebun Raya, kebun percobaan, dan aneka fasilitas zaman Belanda.

Ketika pertama kali dioperasikan pada 1881, Stasiun Bogor boleh jadi jauh dari gambaran keseharian kini. Stasiun Bogor dulu dibangun untuk memfasilitasi orang-orang Belanda yang hendak tetirah di Buitenzorg atau kembali ke Batavia.

Tentunya lebih banyak noni-noni dan tuan-tuan Belanda yang menggunakan kereta di jalur kedua di Indonesia setelah Semarang di Jawa Tengah. Para gubernur jenderal tahun 1881-1948, penulis asing, bahkan Ratu Wilhelmina pada 1940-an pernah menggunakan Stasiun Bogor.

Bentuk bangunan tidak terlalu banyak berubah, hanya beberapa modifikasi bentuk bangunan di beberapa bagian. Pada salah satu ruangan yang kini menjadi ruang untuk tamu VIP, masih ada monumen David Marschalk dari marmer setinggi 1 meter. Patung Marschalk di atas monumen sudah puluhan tahun hilang.

Siapa Marschalk? Menurut Boekoe Peringatan dari Staatsspoor En Tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925, dia pensiunan Inspektur Jenderal Perkeretaapian atau pimpinan perusahaan kereta api.

Bagian luar bangunan Stasiun Bogor tampak megah dengan tulisan tahun pembuatan 1881 pada bagian atasnya.

Tangga ulir yang masih asli, tangga kayu lebar yang berputar hingga lantai dua, dan juga jendela kayu besar di tembok adalah keunikan lain.

Di lokasi ini pengunjung bisa berfoto seolah menjadi bagian dari masa lalu, dengan siluet cahaya menerobos masuk di sela-sela jendela. ”Kami mempersilakan orang-orang yang ingin masuk dan bernostalgia dengan stasiun ini. Tidak akan dipungut bayaran,” tutur Wakil Kepala Stasiun Bogor FS Budiman.

Ahmad Baehaqie dalam Buitenzorg Kota Terindah di Jawa bertutur, Stasiun Buitenzorg sangat nyaman, luas, dan terang benderang. Di luar stasiun langsung tampak Wilhelmina Park yang indah dan tertata. Kini, semua itu memang sudah hilang. Namun, tidak mengurangi nilai sejarah bangunan tersebut. (Antony Lee/Fransisca Romana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com