Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kambing Goreng Itu Ternyata...

Kompas.com - 08/01/2013, 07:47 WIB

Oleh Aryo Wisanggeni G

Lelahnya berkendara tujuh jam menjelajah Region Bago, Myanmar, berganti rasa penasaran saat mendengar Myo Myai Oo (41) memesan santap malam kami. Salah satunya adalah kambing goreng yang dibanggakannya.

Sejak sore Myai Oo terus bercerita tentang kelezatan daging kambing goreng. Gara-garanya, kami mengeluh terus menyantap masakan siap saji restoran Jepang dan Korea selama empat hari di Myanmar.

”Tenang, yang jelas malam ini kita makan makanan khas Myanmar,” kata Myai Oo, warga Yangon yang sehari-hari bekerja sebagai sopir Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar.

”Kita memesan daging kambing goreng, ikan keketik, ayam, dan bebek panggang,” ujarnya menjelaskan deretan makanan yang dipesannya. Ada sedikitnya sepuluh sajian masakan berbahan daging kambing, namun fried mutton lah yang dipesan Myai Oo.

Fried mutton yang sama artinya dengan kambing goreng memang tak memberi tambahan bayangan seperti apa rasa hidangan itu. Foto sajian didaftar menu yang nyaris kabur tak membantu membayangkan rasanya. Nama menu itu sama misteriusnya dengan bayakyaw fried chicken.

Yang sedikit terbayang adalah menu chrispy duck honey sauce alias bebek goreng saus madu dan hot and sour whole fish alias ikan keketik saus asam. Bagian dari kenikmatan bersantap kali ini memang menebak-nebak seperti apa daging kambing goreng dan ayam goreng bayakyaw itu.

Suatu siang Myai Oo telah mengajak kami menyantap kari ikan khas Myanmar di perbatasan Region Bago dan Region Yangon. Ketajaman rasa masakan Myanmar yang kaya bumbu ala kari India ternyata cocok di lidah. Kalau Anda dalam perjalanan dari Yangon ke Distik Bago, ”warung tegal” ala Myanmar pantas disinggahi.

”Tadi siang itu makanan pembuka. Karena sepertinya kalian cocok dengan masakan Myanmar, saatnya kita mencicipi daging kambing goreng,” kata Myai Oo meyakinkan. Pelayan Shin Thant tersenyum-senyum bingung menebak-nebak omongan Myai Oo dalam bahasa Indonesia itu.

Disasar turis

Shin Thant bukan satu-satunya rumah makan di Jalan Daw Thein Tin. Di sepanjang jalan yang tak jauh dari Danau Kandawgyi itu terdapat sejumlah rumah makan lain yang juga menawarkan aneka masakan ala Myanmar. Seperti Shin Thant, sejumlah rumah makan lain juga memasang label ”halal” di papan nama restoran mereka.

Tak heran kawasan Daw Thien Tin kerap disinggahi para pekerja asal Indonesia yang jumlahnya semakin banyak sejak Myanmar memulai reformasi dan demokratisasi pada 2010. Wisatawan pun banyak yang menyinggahi Daw Thien Tin, seperti terlihat di Shin Thant, Kamis malam itu.

Hajra (42), pengelola restoran itu menuturkan, Shin Thant memang selalu ramai turis sejak dibuka empat tahun silam, terutama oleh tamu orang Malaysia dan Brunei. Mereka biasanya dibawa pemandu wisata. ”Promosinya, ya hanya dari mulut ke mulut, mengandalkan kepuasan pelanggan. Sehari, kami melayani sekitar 60 pembeli, dan pada Minggu jumlah berlipat jadi sekitar 150 pembeli,” katanya.

Shin Thant sendiri sejak awal memilih menyajikan hidangan halal. ”Cerukan pasar ini memang menjanjikan, dan selalu dicari orang. Saya termasuk pengumpul resep, dan beberapa koki kami memang piawai meramu masakan. Sajian biasanya kami diskusikan bersama dengan para koki,” ujar Hajra.

Kelebihan kawasan Daw Thien, tiap rumah makannya menyediakan berbagai pilihan menu, mulai dari masakan Myanmar, masakan Eropa, hingga masakan oriental. Kalau Anda datang berombongan, Daw Thien pilihan aman yang membuat tiap anggota rombongan bisa memesan sendiri masakan sesuai seleranya. Pilihan terbaik, tentu saja memesan makanan yang kita tak tahu arah rasanya.

Shin Thant termasuk jenis restoran slow food, semua sajiannya masakan segar, bukan santapan siap saji. Jadi, cadangkan waktu Anda.

Ternyata...

Setelah menunggu sekitar 30 menit, akhirnya satu demi satu hidangan pesanan kami muncul. Berebutlah kami mencicipi fried mutton itu, yang ternyata tersaji mirip suwiran daging sapi atau abon. Gorengannya cukup kering sehingga suwiran daging kambing berbumbu bawang merah goreng ini sedikit terasa ”kriuk”.

Bayakyaw fried chicken, hidangan yang paling lama dimasak, ternyata perkedel daging ayam yang gurih. Rasa gurihnya yang sedikit terlalu memang harus diimbangi asamnya saos dan pedasnya sambal minyak kelapa yang melengkapinya.

Kami juga terpukau oleh meresapnya rasa madu dan nanas dalam bebek goreng saos madu mereka. Bumbu saos asam manis ikan keketik biasa saja, namun rasa daging ikan air tawar khas Myanmar itu memang lezat.

Myai Oo benar, dari seluruh hidangan itu, fried mutton memang jadi rebutan dalam santap malam kami. Capcay jamur, cah kangkung, serta kari udang terasa pas mengimbangi rasa berat dari hidangan utama.

Akhirnya, sendok di piring saji fried mutton terabaikan tangan-tangan kami yang terus mencomoti suwiran daging kambing goreng itu. Hhmmm.

Ikuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com