Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Terisolasi di Pegunungan Tambrauw

Kompas.com - 11/04/2013, 03:00 WIB

Merkah Yebron (25) terbaring lemas di tempat tidurnya yang hanya dilapisi selembar daun pisang, akhir pekan lalu. Di sampingnya, bayi berusia tiga hari dengan tubuh masih kemerahan, terbungkus kain, terus menangis. Jemari Merkah sesekali mencoba mengusapnya, tetapi buah hatinya tersebut tak juga berhenti menangis. A Ponco Anggoro

Dia hanya berdua dengan anak keduanya yang bernama Supanyer Yesnat di tempat itu, di Kampung Kwesefo, Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Tempat itu berukuran tidak lebih dari 6 meter persegi sehingga hanya cukup dihuni Merkah dan Supanyer. Atap rumah berupa pelepah daun sagu dengan dinding dan lantai dari bambu. Sementara tinggi pintu masuk hanya sekitar 1 meter dengan lebar 0,5 meter sehingga tidak mudah untuk masuk dan keluar.

Bilik itu sebetulnya menempel pada bangunan utama yang berukuran 8-10 kali lipat lebih besar, tempat keluarga besar Yesnat tinggal. Meski begitu, tak ada pintu yang menghubungkan kedua bangunan.

”Sudah turun-temurun dari orangtua kami, kalau ada yang melahirkan harus keluar dari rumah dan tinggal di bangunan lain yang dibuat di samping rumah. Ibu dan anak yang dilahirkan tinggal di sana sampai darah ibu berhenti keluar,” tutur Sekretaris Kampung Kwesefo Octovianus Yekwan.

Jadi, di bilik itulah Merkah berjuang melahirkan Supanyer. Persalinan hanya dibantu dukun yang biasa menolong melahirkan. Namun, perjuangan Merkah tak sia-sia. Supanyer lahir selamat, tak seperti kakaknya yang meninggal saat dilahirkan dua tahun lalu.

Pola tradisional

Persalinan dengan cara tradisional terpaksa ditempuh karena ketiadaan fasilitas dan pelayanan kesehatan di Kwesefo. ”Tidak hanya saat persalinan, tetapi juga kalau ada warga yang sakit, kami lebih sering menggunakan dedaunan yang biasa dipakai orangtua untuk menyembuhkan penyakit,” ujar Octovianus.

Fasilitas kesehatan terdekat dari Kwesefo adalah puskesmas pembantu di Sujat, Distrik Sujat, yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama satu sampai dua hari. Adapun pelayanan kesehatan dari dokter, bidan, atau perawat tidak datang setiap saat. ”Pelayanan kesehatan pertama di Kwesefo baru pada akhir 2012. Mereka tiba dengan helikopter dari Sausapor (ibu kota sementara Tambrauw). Kemudian pulang jalan kaki,” kata Octovianus.

Helikopter disewa dari salah satu perusahaan tambang di Tambrauw. Helikopter menjadi satu-satunya alat transportasi yang bisa cepat menjangkau Kwesefo karena belum ada jalan. Dengan helikopter, Kwesefo bisa dijangkau dalam waktu 15 menit dari Sausapor, sedangkan dengan berjalan kaki bisa sampai lima hari.

Namun, helikopter tak setiap saat ada. Ketika helikopter tidak digunakan untuk kepentingan perusahaan, baru bisa disewa. Biayanya Rp 30 juta untuk sekali perjalanan pergi-pulang.

Ketiadaan pelayanan kesehatan ini yang menyebabkan kondisi kesehatan warga Kwesefo, yang berjumlah 175 orang, terabaikan. Saat tim kesehatan gabungan dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Papua Barat, bersama Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua/Papua Barat, mengecek kesehatan warga, Minggu (7/4) dan Senin, mereka mendapati 12 bayi dan anak berusia di bawah lima tahun kurang gizi. Jumlah ini hampir separuh dari jumlah anak yang dicek kesehatannya.

”Tidak ada kesadaran warga akan perilaku hidup bersih dan sehat. Inilah yang membuat anak-anak kurang gizi, cacingan, atau diare,” ujar Muchtar Nasir, dokter dari Kementerian Kesehatan yang termasuk dalam tim kesehatan gabungan.

Tidak ada pula sekolah ataupun guru di Kwesefo yang bisa memberikan kesadaran terhadap warga untuk hidup bersih dan sehat. Satu-satunya cara untuk sekolah, anak-anak harus berjalan kaki ke Sujat atau ke Kwoor dengan waktu tempuh satu sampai dua hari.

Kekurangan gizi sebetulnya tak perlu terjadi karena tanaman yang tumbuh subur di sekeliling mereka sudah menyediakan gizi yang dibutuhkan tubuh. Tanaman kasbi (ubi kayu), keladi (talas), betatas (ubi jalar), bahkan sagu terlihat di sekeliling kampung. Tampak pula sayuran, seperti bayam dan pakis. Tanaman pisang juga banyak terlihat. Selain itu, warga juga beternak ayam yang bisa menjadi sumber protein.

Namun, dari semua hasil kebun yang ada, menurut Octovianus, warga lebih memilih makan karbohidrat, seperti kasbi, keladi, dan betatas. Sementara hasil kebun lainnya hanya sesekali dimakan. ”Kadang-kadang sisanya dibawa dan dijual ke kota. Namun, tidak sering karena jarak ke kota jauh. Sebagian besar hasil dibiarkan begitu saja,” katanya.

Kondisi ini sekaligus membantah terjadinya kematian 95 orang (dikoreksi jadi 84 orang) akibat busung lapar dan gizi buruk di kawasan itu, seperti diinformasikan LSM Belantara yang diragukan akurasinya. Di Kwesefo, misalnya, tak ada warga yang meninggal sejak pertengahan 2012. Di Jokbi Joker, tim kesehatan gabungan hanya menemukan dua kuburan baru. Sementara di Mbatde, berdasarkan laporan warga ke BPBD Tambrauw, ada sembilan orang meninggal selama Desember 2012-Maret 2013. Pemicunya adalah diare dan malaria.

Terlepas dari simpang siurnya data warga yang meninggal, fakta yang jelas adalah ketiga kampung di pedalaman Pegunungan Tambrauw itu masih terisolasi dari pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan, mereka harus berjalan berhari-hari meski dalam kondisi sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Travel Update
Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Jalan Jalan
Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Jalan Jalan
Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Travel Update
Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Jalan Jalan
YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

Travel Update
Harga Tiket Masuk dan Menginap di Pendopo Ciherang Sentul Bogor

Harga Tiket Masuk dan Menginap di Pendopo Ciherang Sentul Bogor

Jalan Jalan
Pendopo Ciherang, Restoran Tepi Sungai dengan Penginapan

Pendopo Ciherang, Restoran Tepi Sungai dengan Penginapan

Jalan Jalan
Cara Urus Visa Turis ke Arab Saudi, Lengkapi Syaratnya

Cara Urus Visa Turis ke Arab Saudi, Lengkapi Syaratnya

Travel Update
Pendaki Penyulut 'Flare' di Gunung Andong Terancam Di-'blacklist' Seumur Hidup

Pendaki Penyulut "Flare" di Gunung Andong Terancam Di-"blacklist" Seumur Hidup

Travel Update
10 Tempat Wisata Indoor di Jakarta, Cocok Dikunjungi Saat Cuaca Panas

10 Tempat Wisata Indoor di Jakarta, Cocok Dikunjungi Saat Cuaca Panas

Jalan Jalan
Rute Transportasi Umum dari Cawang ke Aeon Deltamas

Rute Transportasi Umum dari Cawang ke Aeon Deltamas

Travel Tips
Australia Kenalkan Destinasi Wisata Selain Sydney dan Melbourne

Australia Kenalkan Destinasi Wisata Selain Sydney dan Melbourne

Travel Update
Airbnb Hadirkan Keajaiban di Dunia Nyata Melalui Peluncuran Icons

Airbnb Hadirkan Keajaiban di Dunia Nyata Melalui Peluncuran Icons

Travel Update
Australia Siapkan Banyak Resto Halal, Dukung Pariwisata Ramah Muslim

Australia Siapkan Banyak Resto Halal, Dukung Pariwisata Ramah Muslim

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com