SAWARA, Kamakura, Nikko, Asakusa, dan Shibuya. Lima obyek pariwisata di Jepang itu tidak sepopuler obyek-obyek wisata lain di sana. Kelimanya mungkin hanya contoh dari keunggulan Jepang memadukan yang lama-kuno-tradisional dengan yang baru-modern.
Kelimanya saya kunjungi kebetulan saja. Awalnya ketika kerabat saya, keluarga Sunagawa-Irene—pasangan Jepang-Indonesia dengan kedua anak mereka (Yukihisa dan Erina)—menawarkan pilihan. Alasannya praktis: kelima obyek itu gampang dicapai dari Chiba, kota satelit serba lengkap yang mereka tinggali, di pinggiran jalan tol 40 kilometer dari Bandara Narita menuju Tokyo. Jadilah rumah tinggal mereka menjadi basecamp kami.
Reformasi Jepang abad ke-16 tetap melestarikan hasil peradaban kuno Jepang berdampingan dengan peradaban modern yang menjadi ciri khas Jepang sekarang. Sawara, Kamakura, Nikko, Asakusa, dan Shibuya hanya sebagian contoh dari keberhasilan Jepang menyandingkan tidak hanya kuil dengan hasil budaya dan teknologi supermodern, tetapi juga pelestarian warisan-warisan budaya kebesaran Jepang pada masa lalu.
Sawara, masuk dalam wilayah Prefektur Chiba, salah satu contoh keberhasilan Jepang melestarikan yang lama-tradisional. Sebuah kota kecil 20 km timur laut Bandara Narita, yang pada zaman Periode Edo (1603-1867) jadi pusat kota yang ramai. Obyek utamanya kanal yang memanjang, sarana transportasi utama selama berabad-abad dan dikenal sebagai Edo Kecil oleh karena kecil-mungilnya kota dan ketenangan suasana di balik hiruk pikuknya Jepang modern. Naik kapal kecil yang dinakhodai dua ibu dengan pakaian khas Sawara—baju dan topi petani—kapal yang digerakkan dengan mesin itu perlahan-lahan dengan ongkos 12.000 yen (sekitar Rp 1 juta) menyusuri kanal selama 20 menit.
Berbeda dengan naik gondola di ”kota air” Venesia apalagi miniatur tiruannya di Makau, menyusuri kanal di Sawara serasa menyusuri kanal di Amsterdam. Bedanya di Amsterdam penuh dengan hiruk pikuk lalu lalangnya manusia dan mobil, di Sawara serba damai tenang. Sepi.
Rumah-rumah tradisional di kanan kiri kanal lestari terawat, begitu juga jembatan-jembatan lengkung di atasnya. Selain toko-toko dengan suvenir khas Jepang, tak bisa ditinggalkan Museum Tadataka, tempat kelahiran Ino Tadataka yang pada abad ke-19 berhasil membuat peta kepulauan Jepang lebih lengkap dan lebih akurat di zaman Shogun Tokugawa.
Mau tahu Jepang di masa reformasi 200 tahun lalu, datanglah ke Sawara! Begitu bunyi iklan yang bertebaran. Tidak hanya gudang, pedagang dan rumah-rumah berusia 100-200 tahun berdampingan dengan bangunan modern ”Barat” berikut pernak-perniknya Jepang masa lalu.
Asakusa, Shibuya, Kamakura, Nikko
Dalam kekunoan dan kemodernan Jepang itu, Asakusa, Shibuya, Kamakura, dan Nikko menjadi pelengkap. Asakusa terkenal sebagai kuil tertua di Jepang, Shibuya dengan mitos Hachiko—lambang kesetiaan dengan patung perunggu anjing Hachiko (1923-1935), Kamakura dengan patung perunggu Buddha duduk bertapa yang dibangun pada abad ke-13, Nikko dengan kuil dan taman yang dibangun abad ke-17, didedikasikan untuk Iemetsu Tokugawa, pendiri Dinasti Shogun.
Kelimanya menawarkan pengalaman reflektif. Suasananya dimungkinkan, entah karena aura yang terasa di sana, entah karena tidak dalam kelompok turis perjalanan. Jepang sebagai negara dan bangsa piawai mengemas dua peradaban. Saya kagum dan menempatkan sebagai bahan belajar untuk Indonesia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.