Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto, bersama aktivis anak dari Yayasan Nanda Dian Nusantara Sakti, memilih mengajak anak-anak penghuni kolong jembatan memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan sulap, mendongeng, serta menyanyi dan menari bersama. Tak ada pidato heroik tentang Harkitnas. Tak ada nasihat nan melangit-langit tentang kebangsaan kepada anak-anak.
Acara di kolong jembatan Petak Seng, Jelambar, Jakarta Barat, Senin (20/5), itu dibuka dengan upacara bendera pukul 09.30.
Kekhidmatan acara itu tak menghilangkan kegembiraan anak-anak. Saat tiga anak menaikkan bendera Merah Putih di dua tiang bambu yang disambung dengan tali, puluhan anak berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sebagian anak yang membawa bendera Merah Putih berukuran kecil, menyanyi sambil mengibar-ngibarkan bendera kertas itu.
Beberapa orangtua yang hadir, bahkan sejumlah pengendara mobil dan sepeda motor yang melintas, kaget mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang di kolong jembatan layang dua lajur—Pluit-Grogol-Cawang, dan Tomang-Jembatan Tiga itu.
Acara dilanjutkan dengan pertunjukan karate, dan tarian Betawi. Tak lama, acara yang ditunggu anak-anak pun tiba. Diiringi organ tunggal, Kak Seto mengajak anak-anak bernyanyi dan menari bersama,
Disini Senang, Disana Senang
Lelah menyanyi dan menari, Kak Seto mendongeng, dilanjutkan pentas sulap. Acara ditutup dengan menyanyi dan menari bersama kembali.
Kak Seto mengajak lembaga, komunitas, dan kelompok lain yang peduli pada mereka yang tertinggal, terutama kalangan anak-anak, agar membuat acara serupa saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). ”Tak perlu muluk dan bertele-tele. Tak perlu yang kolosal. Sebab, anak-anak itu cuma butuh bermain meski cuma sejenak,” papar Seto.
Saat bermain itulah, mereka merasa menjadi bagian bangsa ini. ”Pengakuan ini akan membuat mereka punya kebanggaan kebangsaan,” lanjut Seto.
Dari sana, ia melanjutkan perjalanan untuk memperingati Harkitnas bersama anak jalanan. Ia pun menemui anak-anak yang tinggal di tepi rel di Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Seusai acara yang menyenangkan itu, Astuti (12) yang duduk di kursi roda didorong kedua orangtuanya—Sumanda (48) dan Aam (45)—menuju rumah bedeng mereka di kolong jembatan. Mereka tinggal berempat bersama Aster (10), si bungsu. ”Dua anak kami yang lebih tua ikut neneknya di kampung, di Balaraja, Tangerang, Banten,” kata Aam. Ia lalu menjelaskan, sejak lahir, Astuti, yang lahir prematur, sudah lumpuh.
”Dulu, saya buruh lepas kain perca. Kain dibuat keset, tali, dan lap. Namun hasilnya minim. Sehari cuma Rp 20.000-Rp 26.000,” kata Aam.
Ia pun pindah ke kolong jembatan, mengamen bersama Astuti. Berangkat pukul 14.00, pulang pukul 18.00.
Sehari mengamen, mereka bisa dapat Rp 70.000. ”Suami saya pemulung. Pendapatannya sepekan Rp 30.000,” kata Aam.
Di kolong jembatan, mereka menyewa bedeng. Sewanya sebulan Rp 150.000, sedangkan untuk biaya listrik Rp 30.000.
Aam mengakui, keluarganya tidak punya KTP DKI. Berbeda dengan Yani (53), Leila (26), dan Tuti (30), tetangga Aam di kolong jembatan, mereka mengaku punya KTP DKI. Namun, ketiganya sama-sama tak mendapatkan Kartu Jakarta Sehat ataupun Kartu Jakarta Pintar (KJP). Karena itu, anak-anak mereka pun tidak bisa mengikuti program sekolah gratis.
Leny Sentia (10), salah seorang pengibar bendera pada peringatan Harkitnas di kolong Jembatan Petak Seng, yang juga penghuni kolong jembatan itu, mengaku lebih beruntung. Siswi kelas IV SD Negeri Grogol ini sudah memiliki KJP. Sehari-hari, ayahnya bekerja mengumpulkan paku yang dicongkel dari papan bekas.