Mereka berjingkrak-jingkrak tanpa beban. Karena merasa gerakannya tak bebas, seorang dari cewek Jepang itu mulai melepas bendera partai dari pinggangnya. Dan dengan gerakan yang sensual, ia ubah bendera partai itu menjadi selendang untuk merenggut leher pasangannya ke dalam pelukan.
Ah, untunglah ini terjadi di Kuta. Kendati sebagian besar warganya adalah simpatisan partai yang benderanya kini dibuat “main-main”, tapi mereka tak marah-marah. Sebab mereka tahu, usia kecintaan mereka terhadap partai sejajar lurus dengan kepercayaan mereka terhadap wakil-wakil mereka yang jadi anggota dewan maupun yang duduk di pemerintahan. Ketika kepercayaan mereka terhadap wakil-wakil mereka hilang, maka tamatlah sudah riwayat sebuah partai beserta lambang dan benderanya.
Tapi turis, sekali lagi turis, adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan warga Kuta. Oleh sebab itu, mereka amat faham bagaimana memperlakukan para turis. Menjaga kenyamanan turis, adalah sama dengan menjaga penghidupan mereka.
Matre? Tidak juga. Harga diri, tradisi, leluhur, dan kepercayaan, bagi mereka lebih penting dibela mati-matian ketimbang hanya selembar kain yang kebetulan bergambar lambang partai.
Juha yang kini sendiri, mulai gelisah. Reaksi alkohol mulai membuat kerongkongannya serasa tercekat.
“Would you like anything to drink?” Seorang waitres bule yang rupanya menangkap gelagat buruk pada diri tamunya, menghampiri Juha.
“Yes, please. I’ll have orange juice,” ucap Juha sekenanya. Dalam situasi goyah mental dan fisik akibat alkohol, selalu saja orange juice yang dipesannya. Entah naluri, mitos, atau memang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara scientific, bahwa orange juice mampu meredakan pengaruh alkohol. Entahlah.
Akhirnya Juha tahu diri. Ia tak ingin merepotkan orang lain karena hilang kesadarannya oleh alkohol. Setelah orange juice tandas dalam sekali hirup, setelah ia membayar minumannya, ia pun melangkah ke luar pub.
Juha berharap, udara segar di jalanan Kuta akan mengembalikan kesadarannya secara penuh. Juha pun kemudian berjalan sambil mereka-reka arah menuju pantai.
Baru sepuluh langkah, mata Juha menangkap seorang lelaki tengah baya bejalan sempoyongan. Mendadak muncul hasratnya untuk menolong lelaki yang berjalan beberapa langkah di depannya. Juha pikir, pastilah lelaki itu senasib dengan dirinya. Syarafnya tengah dikuasai alkohol.
“Siapa kamu?!” Lelaki tengah baya itu menghardik sambil bercuriga.
“Tak penting siapa saya, kalau mau saya tolong, mari saya tolong.”
Lelaki itu mundur dua tindak, dan setelahnya ia pun meneliti dengan seksama sekujur tubuh Juha. Setelah ia mendapatkan semacam kesimpulan, bahwa orang yang menawarkan pertolongan kepadanya adalah dari jenis manusia baik-baik, lelaki tengah baya itu pun terbahak.
“Sesama pemabuk harus saling tolong menolong,” kata lelaki tengah baya yang mengaku bernama Aji itu sambil masih terbahak-bahak.
“Anda tahu, situasi macam apa yang diidam-idamkan oleh seorang peminum macam saya?”
Juha menggeleng.
“Adalah ketika mendapatkan seorang kawan sesama peminum yang baik hati macam Anda,” lanjut lelaki asal Jakarta yang juga mengaku sedang membuang kesumpekan hati di Bali.