Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambulun Saiyo, Benteng Kesenian Pesisir Selatan

Kompas.com - 07/06/2013, 14:43 WIB

DI tengah gempuran beragam kesenian pop yang memengaruhi sebagian besar masyarakat, Sanggar Kesenian Tradisional Tambulun Saiyo di kawasan Kampung Kurao, Nagari Sungai Liku Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menjadi benteng bagi sejumlah seni tradisi. Tari piring tradisional, tari ratok gadih basanai, dan tari selendang adalah beberapa di antara jenis seni pertunjukan yang hingga kini terus dipertahankan sejumlah pakem tradisinya.

Setidaknya sekali dalam setiap pekan, anggota sanggar itu menggelar latihan. Setiap Sabtu malam, sekitar 20 anggota sanggar berlatih di pelataran rumah pasangan H Abdul Muis (81) dan Hj Yulidar (73).

Lokasi berlatih dan menjaga pakem tradisi itu berjarak sekitar 170 kilometer dari Kota Padang. Adapun dari pusat pemerintahan Kecamatan Ranah Pesisir, terpisah sekitar 15 kilometer. Tegangan listrik dari PLN baru mengalir sekitar tiga bulan terakhir. Sebelumnya, sebagian anggota sanggar iuran Rp 3.000 per orang untuk biaya membeli solar guna menggerakkan genset.

Seperti yang terlihat pada Sabtu (23/2) malam lalu, puluhan anggota sanggar bergantian menampilkan kebolehan mereka. Pentas dibuka dengan pementasan oleh sekelompok penari cilik yang memainkan tari piring.

Gerakan rancak dipandu musik ritmis dalam tempo cepat membuat malam itu terasa hangat. Jenis tari piring itu relatif berbeda dengan yang biasa dipertunjukkan pada sejumlah acara resmi di wilayah perkotaan Sumatera Barat.

Staf Taman Budaya Sumatera Barat, Nina Rianti, mengatakan, perbedaan itu memang sesuai dengan ungkapan Minang yang berbunyi, adat salingka nagari. Ini mengandung tafsir bahwa adat tertentu memang hanya berlaku pada satu wilayah nagari. Untuk nagari lain, sekalipun letaknya relatif berdekatan, adat yang berlaku berikut segala pranata, termasuk hasil-hasil keseniannya, bisa jadi bakal sangat berbeda.

Menurut Ketua Sanggar Kesenian Tradisional Tambulun Saiyo, Mardianton, anggota sanggar terdiri dari delapan laki-laki dan 12 perempuan. Rentang usia mereka antara 10 tahun dan 22 tahun.

”Salah satu syarat untuk menjadi anggota sanggar ialah, mereka harus bersekolah,” kata Mardianton. Syarat tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, dengan lokasi yang relatif terpencil, akses pada pendidikan bagi masyarakat di kampung itu relatif rendah.

Berdasarkan data yang tercatat pada Sanggar Kesenian Tradisional Tambulun Saiyo, pada 2010 sekurangnya 82 persen penduduk Kampung Kurao tidak pernah menjalani pendidikan formal. Hanya 10 persen mengecap pendidikan tingkat SMA, 3 persen tingkat SMP, dan 5 persen tingkat SD.

Mardianton mengatakan, dengan syarat mesti bersekolah bagi para anggota sanggar, diharapkan banyak masyarakat yang terlecut semangatnya untuk menempuh pendidikan. Ini menjadi semacam cara mengentaskan masyarakat dari kungkungan rendahnya tingkat pendidikan lewat kesenian sebagai daya tariknya.

”Sekaligus mengubah pola pikir sebagian masyarakat soal pendidikan,” ujar Mardianton.

Secara perlahan, memang seperti itulah yang terjadi. Sebab, setiap malam Minggu itu, pelataran yang dipakai sebagai tempat latihan menjadi ramai oleh para pengunjung. Mereka tidak hanya berasal dari warga di kampung tersebut, sebagian di antaranya juga datang dari wilayah tetangga.

Mardianton menyebutkan, sanggar tersebut mulai aktif secara formal sejak 2004. Latihan beragam kesenian tradisi lantas dilakukan secara rutin setidaknya mulai Agustus 2006.

Menurut Mardianton, latihan rutin dan pembentukan sanggar itu diawali dengan sekadar bincang-bincang sembari memainkan alat musik rabab khas Pesisir Selatan. Menyusul keberadaan alat musik lain dan pemainnya yang relatif lengkap, seperti gendang dan serunai, kemudian disepakati pula melatih beragam jenis tarian.

Sebagai guru pengasuh sanggar tersebut, masyarakat menyepakati untuk menunjuk seorang warga bernama Inir. Setiap Sabtu malam, Inir terlihat sibuk mengarahkan para anggota sanggar berlatih.

Inir mengatakan, terbentuknya sanggar itu terutama juga terjadi atas prakarsa pasangan Abdul Muis dan Yulidar. Muis dan Yulidar sebelumnya tinggal di Jakarta dan kembali ke kampung itu sejak 2000.

Selain tari piring, sanggar yang dibentuk guna menghidupkan lagi sejumlah kesenian tradisional di kawasan tersebut dengan sejumlah pakem lama yang dipertahankan itu juga melatih beberapa jenis kesenian lain. Jenis kesenian itu di antaranya jenis kesenian tari piring tradisional, tari ratok gadih basanai, dan tari selendang.

Adapun nama Tambulun Saiyo merujuk pada keberadaan sumber air di dekat perkampungan itu yang berasal dari kawasan perbukitan. Sumber air yang terjun menuruni perbukitan tersebut menjadi semacam urat nadi masyarakat karena dipergunakan untuk sumber air minum, pengairan sawah, dan kebutuhan hidup lainnya.

”Sebelum sanggar ini terbentuk, beragam seni tradisi di kawasan ini memang masih dimainkan, tetapi seolah-olah tidak ada,” kata Mardianton.

Hal itu disebabkan aneka seni tradisi tersebut yang hanya dipentaskan saat ada permintaan tertentu. Tidak ada latihan rutin yang dilakukan para pelakunya. ”Tempat para pelaku aktivitas kesenian tersebut juga berpindah-pindah,” tutur Mardianton.

Padahal, imbuh Mardianton, animo masyarakat untuk menyaksikan seni tradisi terbilang masih relatif tinggi. Berbagai pementasan di sejumlah kegiatan yang dilakukan anggota sanggar itu di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi menjadi bukti.

Hal itulah, di antaranya, yang membuat anggota sanggar tersebut tetap berusaha menampilkan wajah kesenian daerah mereka pada jejak tradisinya. Sekalipun tidak bisa dimungkiri, tekanan untuk memasukkan unsur pop atau kreasi baru dalam seni tradisi tersebut juga terjadi dengan relatif kuat.

Mardianton menyebutkan, tekanan itu terutama kerap terjadi saat anggota sanggar mengikuti sejumlah festival terkait kesenian, misalnya tuntutan agar durasi penampilan yang mesti diperpendek. Ini terkait dengan kecenderungan sebagian masyarakat yang lebih praktis sehingga waktu untuk menikmati kesenian relatif berkurang.

”Namun, dalam beberapa kali festival, kami tetap mempertahankan kesenian sesuai tradisi yang ada sekalipun ada protes dari peserta lain,” katanya.

Menurut Mardianton, sesungguhnya unsur-unsur kreasi baru tersebut bisa saja dimasukkan sesuai dengan kebutuhan sebagian masyarakat saat ini. Namun, hal itu masih terkendala pada keterbatasan alat-alat musik yang dimiliki.

Hingga saat ini, setiap kali latihan, kelompok kesenian itu hanya menggunakan gandang, rabab, serunai, dan rebana. ”Padahal, untuk menghasilkan karya seni kreasi, kami membutuhkan alat musik lain, seperti talempong,” ujar Mardianton.

Selain itu, masih dibutuhkan latihan tertentu sebelum bisa menguasai penggunaan instrumen musik tersebut. Akan tetapi, ia menambahkan bahwa untuk konsumsi tontonan sebagian masyarakat acara kerakyatan, kesenian dengan pakem tradisi yang ketat masih lebih diminati.

Nina Rianti, yang juga seorang seniman, menambahkan, saat ini penyesuaian dengan unsur baru menjadi keniscayaan yang mesti dilakukan pada beragam bentuk kesenian tradisi. Pasalnya, jika hal itu tidak dilakukan, masyarakat yang hidup di tengah konteks zaman modern kemungkinan akan enggan menikmati kesenian tersebut.

Akan tetapi, imbuh Nina, penyesuaian dengan unsur kreasi baru itu mesti dilakukan tanpa merusak inti seni tradisi yang ada berupa semangat dan ruh yang menghidupinya. Misalnya, imbuh Nina, untuk pementasan tari piring tradisional di nagari itu, yang menjadi kekuatan ialah tiupan nada-nada dari instrumen serunai. ”Tantangannya ialah bagaimana menampilkan kesenian berbasis tradisi, tetapi unsur kreasi tetap ada,” kata Nina. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com