Buaya buntung
Chaerudin alias Bang Iding, pelestari Kali Pesanggrahan di Jakarta Selatan, berani berspekulasi bahwa roti buaya adalah peninggalan tradisi tua. ”Saya yakin roti buaya sudah ada setidaknya sebelum Islam masuk ke sini. Kalau ada yang bilang roti buaya baru ada setelah zaman kompeni lantaran dibuat dari terigu, gue kepret (kibas) tuh orang,” katanya bersemangat.
”Waktu kecil, saya pernah kok lihat roti buaya dari beras atau sagu. Yang penting bentuknya buaya,” ujar Iding.
Mengapa buaya yang jadi simbol? Yahya menjelaskan, nenek moyang orang Betawi dulu tinggal di sekitar sungai yang dihuni buaya. Dulu, orang Betawi percaya, buaya yang tinggal di kali bukan hanya buaya betulan, melainkan juga buaya gaib. ”Itu sebabnya kalau lewat kali ada sopan-santunnya. Kita harus bilang, ’numpang-numpang anak orang mau lewat’. Ini sebenarnya bagian dari kearifan nenek moyang agar kita takut ngerusak alam,” kata Yahya.
Kepercayaan pada buaya gaib sebagai penjaga sungai menyebar hampir merata di wilayah kultural Betawi, terutama di daerah aliran sungai, seperti Pesanggrahan, Cisadane, Krukut, Bekasi, dan Ciliwung. Variasinya saja yang sedikit berbeda. Di Pesanggrahan, kata Iding, orang mengenal buaya buntung dan buaya putih. ”Kita nyebutnya si Melati. Buayanya item totol-totol putih, buntutnya buntek.”
Di Ciputat, orang mengenal buaya putih, buaya buntung, dan buaya merah. Di Cisadane, orang percaya buaya putih bisa menjelma jadi centeng.
Antropolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dadi Darmadi, melihat, kepercayaan sebuah komunitas memang dipengaruhi oleh kondisi ekologi tempat mereka tinggal. Biasanya mereka menghormati kekuatan alam yang besar dan ditakuti. Karena lingkungan Betawi bersungai-sungai dan berawa, wajar jika kekuatan yang mereka hormati adalah buaya. ”Agar kekuatan itu tidak mengganggu, biasanya ada praktik persembahan,” kata Dadi.
Praktik itu memang tumbuh di Betawi hingga dua dekade silam. Hamisah (68), warga Ciputat, menceritakan, sampai pertengahan 1990-an, keluarganya masih rutin memberi sajen (ancak) kepada kekuatan alam di pinggir kali. Isinya biasanya kopi pahit, kopi manis-teh pahit-teh manis, bubur merah-bubur putih, nasi kuning-nasi putih, ayam panggang, bunga tujuh rupa, rokok, telur ayam, lisong, dan kemenyan.
Pada momen tertentu, orangtuanya memendam kepala kerbau di pinggir kedung sungai. ”Kepala kerbau dikasih kain merah, pecut, dan kembang tujuh rupa. Kita arak dulu pakai lenong. Sekarang enggak ada lagi orang sedekah ke kali. Kali udah diuruk jadi got,” ujar Hamisah.
Yahya yakin roti buaya juga bagian dari persembahan kepada alam. Dulu, roti buaya tidak boleh dimakan. Setelah diserahkan, roti buaya diletakkan di atas lemari sampai hancur atau dipantek di depan pintu. Di Pesanggrahan, kata Iding, sebagian roti buaya dilarung ke kali.
Karena tidak untuk dimakan, roti buaya zaman dulu sangat keras dan tidak ada rasanya.
Tradisi mempersembahkan sesuatu kepada kekuatan alam lenyap mulai 1970-an seiring keberhasilan dakwah agama ke pelosok-pelosok kampung. Meski begitu, roti buaya sebagai bagian dari seserahan perkawinan adat Betawi tetap dipertahankan. Namun, maknanya digeser jadi sebatas ornamen.
Roti buaya pun sekarang dibuat untuk dimakan. Tengoklah pabrik roti Tan Ek Tjoan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Di situ, ada roti buaya isi cokelat dan keju yang lembut dan manis. Mau pilih yang mana? (Ahmad Arif/Iwan Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.