Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balong, Lumbung Pangan Priangan

Kompas.com - 27/07/2013, 12:36 WIB

Memelihara ikan gurami wajib hukumnya, sebab ikan yang beratnya bisa mencapai 10 sampai 15 kilogram ini akan menjadi ”pajangan” wajib sahibul hajat. Pada masa lalu, setelah digoreng kering, gurami besar dihiasi sebagaimana kaum perempuan menghiasi kue bolu. Sekarang masyarakat tetap memelihara gurami baik untuk dikonsumsi maupun dijual.

Selain gurami, jenis ikan yang mereka pelihara antara lain ikan mas, nilem, sepat, rambak, tawes, nila, dan mujair. Belakangan ikan sepat, rambak, dan tawes sudah tidak dipelihara lagi. Ikan nila baru satu dekade lalu dipelihara dan dibudidayakan. Mujair biasa disebut ikan haram karena tanpa memelihara pun ia hidup dengan sendirinya sebagaimana jenis ikan yang lebih kecil seperti beunteur, burayak, berenyit, jeler, lele, dan betok. Sekarang masyarakat terbiasa memelihara lele dumbo, kakap tawar, dan patin, yang tidak termasuk ”ikan asli” Jawa Barat. Bukan untuk dimakan, tetapi untuk dijual.

Siap santap

Namanya juga untuk lauk-pauk, tidak sulit bagi masyarakat Jawa Barat mengolah ikan dari balong sehingga menjadi makanan siap santap. Pada masa lalu tatkala keletik (minyak goreng) masih dianggap barang mahal, ibu-ibu biasa mais atau membuat pepes ikan. Ikan yang telah diberi bumbu dibungkus daun pisang untuk kemudian dibubuy atau dibenamkan ke dalam bara api dari hawu (tungku). Untuk menjaga bara tetap menyala, biasa digunakan songsong untuk mengalirkan udara yang berasal dari tiupan mulut. Songsong terbuat dari buluh bambu sepanjang 30 sentimeter.

Sekarang tatkala hawu sudah tergeser kompor gas, kebiasaan mais sudah tidak ada lagi, tetapi ikan diseupan atau dikukus. Mau lebih praktis lagi, ikan digoreng saja. Selain dipais (dipepes) atau diseupan (dikukus), ketiadaan minyak goreng diakali dengan cara mindang, yakni merebus ikan menggunakan kastrol sampai kering tak berkuah dan tulang-belulang ikan benar-benar menjadi lunak.

Ikan yang melimpah dari balong dan kadang tidak bisa dihabiskan sekali makan, biasa dikere atau dibuat dendeng dengan cara membelah tubuh ikan atau digugubar untuk kemudian menjemurnya di bawah panas matahari sampai ikan itu kering. Lauk kere dengan bumbu ketumbar mendominasi ini bisa tahan lama disimpan untuk digoreng di kemudian hari.

Yang khas dari masyarakat Sunda, menurut Acep, memang terletak pada makanan rakyatnya, termasuk olahan ikan yang sangat mudah dibuat. Kesederhanaan makanan rakyat ini merepresentasikan sifat rakyat Sunda yang spontan, jujur, ekspresif, dan tidak terbebani oleh norma-norma yang dipegang kaum feodal.

Budidaya ikan di Tasikmalaya sebenarnya sempat melimpah ruah dan terpusat di Singaparna. Namun, kini budidaya ikan di wilayah tersebut sudah banyak yang hancur karena kerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir yang membabat habis perbukitan di sekitar Gunung Galunggung.

”Pemerintah sudah tidak punya wawasan tentang alam. Tidak mengambil inspirasi dari masa lalu, hanya tunduk pada keuntungan pribadi,” ujar Acep.

Balong dan kulah di tlatah Sunda menjadi salah satu indikator tentang kelestarian alam. Jika alam benar-benar telah rusak, balong dan kulah mungkin hanya tinggal kenangan, sama seperti nasib syair kawih Sunda tentang Amut dan Dulah.. (Pepih Nugraha dan Mawar Kusuma)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com