Sistem kekerabatan memang jadi penopang perkembangbiakan warung minang. Namun, itu tidak berlaku lagi di jaringan Restoran Sederhana milik Haji Bustaman asal Lintau, Kabupaten Tanah Datar. Ia memilih sistem kemitraan untuk membiakkan restorannya. Asal punya uang beberapa miliar rupiah, Anda bisa memiliki cabang baru Restoran Sederhana.
Hasilnya, jaringan restoran yang bermula dari sebuah kedai kecil di Bendungan Hilir tahun 1970-an itu kini berbiak menjadi 100-an cabang di sejumlah daerah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. ”Investornya bukan hanya orang Minang, melainkan juga orang Batak, Jawa, Sunda. Sistemnya bagi hasil, bukan waralaba,” tutur Bustaman yang ”hanya” memiliki secara penuh enam dari sekitar 100 cabang Restoran Sederhana.
Migrasi
Sejak kapan warung minang menyebar begitu rupa? Sejumlah catatan menyebutkan, diaspora warung minang terjadi seiring migrasi besar-besaran orang Minang ke tanah rantau pada abad ke-20. Data sensus 1930 menyebutkan, penduduk Sumatera Barat yang tinggal di luar kampung halamannya ketika itu mencapai 211.000 orang yang tersebar di Jambi, Riau, Sumatera Timur, dan Malaysia. Migrasi meluas pasca-kemerdekaan Indonesia hingga ke kota-kota di Jawa.
Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta menumpang kapal-kapal dari Teluk Bayur, Padang. Banyak di antara mereka mengincar kedudukan di kementerian dan departemen pemerintah yang baru terbentuk, berdagang, atau menuntut ilmu (Mochtar Naim, 1984).
Lance Castle memperkirakan, tahun 1962, ada 60.000 orang Minang di Jakarta. Jumlah itu melonjak menjadi 154.000 orang berdasarkan sensus tahun 1990. Itu baru di Jakarta, belum di Botabek dan kota-kota lain.
Karena komunitas orang Minang bertambah banyak, muncul kebutuhan membuka warung minang. ”Awalnya, pelanggan warung minang itu orang Minang saja. Pemiliknya sudah pasti orang Minang sebab warung sekaligus jadi tempat menampung sesama perantau. Lama-kelamaan, warung minang berkembang seperti sekarang,” ujar sejarawan Muhammad Nur dari Universitas Andalas.
Sebagian rumah makan minang di luar negeri juga berkembang seiring membesarnya jumlah perantau Indonesia. Tengoklah Restoran Minang Indonesia milik Arfianto Wismar Bachtiar di Doha, Qatar. Awalnya, laki-laki asal Lintau itu datang ke Qatar untuk bekerja di perusahaan minyak tahun 2000. Selama di Qatar, istrinya sering memasak masakan minang. Tak disangka, mereka mendapat banyak order masakan dari keluarga Indonesia di Qatar dan KBRI.
Akhirnya, September 2006, ia memberanikan diri membuka restoran minang. Restoran itu terus berkembang dan tahun 2011, Arfianto membuka restoran kedua. Pelanggan restorannya 85 persen orang Indonesia dan sisanya orang asing.
Begitulah, bagai organisme makhluk hidup, warung minang bisa berbiak di mana saja. Sampai-sampai ada seloroh, ”Kalau di bulan ada orang Minang, mereka akan buka warung nasi di sana.” (Budi Suwarna dan Indira Permanasari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.