Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cenkblonk, Suara Rakyat yang Menggugat

Kompas.com - 23/09/2013, 20:18 WIB

Secara struktur, Nardayana tidak melakukan pembaruan pada bentuk pertunjukan wayang. Namun, ia memberikan sentuhan baru agar wayang hadir sebagai pertunjukan yang kolosal. Kelir wayang yang biasanya tak lebih dari 2 meter, ia perbesar sampai 6 meter. Musik pengiring yang biasanya cuma empat gender diperbanyak dengan batelan, kendang, bahkan menambahnya dengan 3 gerong (sinden) dan seorang tandak (sinden lelaki). ”Jika dihitung dengan kru panggung dan sopir, jumlahnya 50 orang,” katanya. Nardayana bahkan menambahkan keyboard dan dry ice dalam setiap pementasannya.

Sebelum menjadi dalang dalam pengertian sesungguhnya, Nardayana pernah bekerja sebagai juru parkir di sebuah swalayan di Denpasar. ”Saya cuma dapat uang Rp 40.000 sebulan selama tiga tahun,” katanya mengenang. Pekerjaan juru parkir itu pun dijalani Nardayana secara ulang-alik dari desanya. ”Pagi berangkat, malam pulang ke Belayu,” katanya. Jarak Denpasar-Belayu tak kurang dari 50 kilometer.

Apa yang membuat Anda begitu mencintai wayang?

Sejak kecil saya sudah mendalang walau cuma wayang dari kardus. Gara-gara itu rapor saya merah semua karena tiap malam mendalang di rumah-rumah warga. Ayah marah, lalu membakar semua wayang saya.

Anda berhenti?

Justru makin menjadi. Diam-diam saya tetap latihan mendalang, sampai suatu saat beli dua wayang kulit Yudistira dan raksasa, selebihnya saya beli kulit kerbau. Lalu saya tatah tokoh-tokoh wayang berdasarkan ingatan menonton wayang, tidak menyalin....

Anda merasa ada panggilan sebagai dalang?

Mungkin sebagian benar. Saya cuma mengikuti kemauan hati. Tetapi lama-lama merasa bahwa wayang harus tetap hidup. Beruntung di Bali wayang erat kaitannya dengan ritual adat dan agama. Jadi, selama ritual itu ada, wayang akan tetap diterima.

Bagaimana Anda tahu kalau penonton masih menerima wayang?

Saya lebih suka pentas di kota-kota. Masyarakatnya lebih majemuk dan lebih maju dalam cara berpikirnya. Kalau saya main di satu kawasan kota, saya pelajari dulu isu dan psikologi masyarakat di sana. Kalau itu sudah ketemu, cuma gerak-gerakkan wayang saja, penonton sudah tertawa....

Jadi Anda selalu survei dulu sebelum pentas?

Mungkin tidak dalam pengertian riset. Saya setidaknya baca di koran seperti apa kondisi psikologi satu masyarakat. Sekarang umumnya sih isu-isu tentang pemimpin bangsa yang dibahas. Pemimpin yang merakyat itu sudah menjadi wacana bagi rakyat. Maka itu tadi, sesedikit mungkin saya pakai bahasa Kawi. Bila perlu raja dan dewa pun bercakap dengan bahasa yang mudah dipahami.

Itu tidak melanggar pakem pewayangan?

Wayang harus berubah kalau mau diterima. Itu kan cuma soal bahasa, soal medium saja. Saya tidak pernah mengubah struktur wayang yang sudah baku, tetapi kalau membuat tokoh baru seperti carangan dalam kisah-kisah Mahabharata misalnya, itu biasa. Dulu juga begitu. Bima di India cuma punya anak Gatotkaca, tetapi di Jawa dan Bali, anaknya jadi banyak sekali. Itu semua ciptaan lokal genius.

Jadi, menurut Anda, jika wayang ingin bertahan, ia harus mengikuti perubahan yang terjadi pada masyarakat pendukungnya?

Itu yang saya lakukan sejak awal, termasuk memunculkan tokoh rakyat Cenk-Blonk itu....

Seorang tamu masuk dari kori (gerbang) rumah. Nardayana menyambutnya. Tamu itu tak lain utusan yang memastikan pementasan Wayang Cenkblonk Belayu di kawasan Teuku Umar, Denpasar, Senin malam itu. Saya memutuskan untuk menonton, sambil berharap bertemu dengan Nang Klenceng dan Nang Ceblong.... (Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com