Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nepal, Negeri Seribu Dewa

Kompas.com - 03/10/2013, 16:07 WIB
Di bawah terik matahari Agustus lalu, saya menyusuri labirin Thamel di Kathmandu, Nepal, menikmati riuh gang-gang sempit yang sangat dikenal pencinta penjelajahan dan pendakian gunung di negeri atap dunia ini. Di Thamel, saya merasakan detak kehidupan warga di ”Negeri Seribu Dewa”.

Ratusan toko kecil berjejalan. Ada yang menjual peralatan trekking atau pendakian gunung, seperti jaket, sepatu, ransel, dan berbagai macam perlengkapan lain. Jika Anda tak mau membelinya, boleh pula menyewanya.

Ada pula toko yang menjual beraneka cendera mata, mulai dari baju khas Nepal, kain sari India syal, bermacam lukisan, topi, kaus, dan kartu pos.

Berbagai restoran yang menyajikan beragam menu makanan juga ada di Thamel.

Gang-gang sempit itu pun diwarnai bunyi klakson taksi-taksi kecil yang merayap melewatinya. Penarik becak yang membawa turis tak pula mau kalah. Mereka berteriak meminta jalan kepada para pejalan kaki, sebagian di antara mereka adalah pelancong dari negeri-negeri asing.

Di sini, di labirin Thamel ini, saya memulai ”pembelajaran” selama satu pekan ke depan.

Siang itu, saya ingin ke Hanuman-dhoka Durbar Square. Kompleks bangunan yang ada di Lembah Kathmandu ini merupakan satu dari tujuh situs warisan budaya dunia, UNESCO, World Cultural Heritage Site.

Karena letaknya tak terlalu jauh dari Thamel, tempat hotel saya berada, saya memilih berjalan kaki melintasi jalan sempit dan riuh Chaksibari Marg. Tak terlalu lama, saya tiba di salah satu gerbang Hanuman-dhoka Durbar Square.

Nepal masih memiliki enam situs lain, yakni Patan Durbar Square, Bhaktapur Durbar Square, Pashupatinath Temple, Bouddhanath Stupa, Swayambunath Temple, dan Changu Narayan yang merupakan candi Hindu tertua.

Keberadaan candi-candi inilah yang membuat Nepal dijuluki ”Negeri Seribu Dewa”. Hingga kini, ketujuh situs tersebut terawat dengan baik dan digunakan bagi upacara keagamaan Buddha dan Hidu serta festival kebudayaan.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Hanuman-dhoka Durbar Square di Kathmandu, Nepal, menarik perhatian mereka yang mencintai wisata budaya.
Turis akan dikenai biaya tiket sebesar Rs 750 (sekitar Rp 75.000) untuk masuk ke Hanuman-dhoka Durbar Square. Dana inilah yang digunakan untuk melestarikan situs tersebut. Di dalam Hanuman-dhoka Durbar Square ada 43 obyek yang bisa dinikmati, mulai dari candi, patung, lonceng, bangunan kuno dan antik, hingga museum. Kompleks candi dan tempat pemujaan ini dibangun pada abad ke-12 hingga ke-18.

Nama Hanuman-dhoka diambil dari patung Hanoman yang didirikan Raja Pratap Malla di depan pintu gerbang istananya pada 1672. Sembilan bangunan rumah tinggal di tempat itu dibangun Raja Prithvi Narayan Shah pada 1770 dan dikenal dengan nama Basantapur Durbar. Kini keseluruhan kompleks itu lebih dikenal dengan nama Kathmandu Durbar Square.

Bhaktapur

Salah satu situs yang juga menarik adalah Bhaktapur Durbar Square yang terletak sekitar 14 kilometer di timur Kathmandu. Bhaktapur lebih dikenal warga lokal Newari dengan nama Khwopa. Pada abad ke-12 hingga ke-15, Bhaktapur pernah menjadi ibu kota budaya Nepal.

Kota kuno ini dibatasi dinding dan memiliki beberapa pintu gerbang. Luasnya 6,88 kilometer persegi pada ketinggian 1.401 meter di atas permukaan laut. Bhaktapur dihuni sekitar 100.000 penduduk dengan profesi beraneka, mulai dari pedagang, pembuat kerajinan, hingga pegawai pemerintah.

Perpaduan antara seni dari wilayah utara dan filosofi mitologi dari wilayah selatan, karya seni yang sudah berusia ratusan tahun, serta kekayaan arsitektur dan budaya yang unik merupakan warisan budaya yang bisa kita nikmati di Bhaktapur. Contohnya, pagoda dan candi Shikhar, biara Buddha tradisional seperti Vihars dan Bahis, serta bermacam arca batu termasuk Siddhi Laxmi yang merupakan candi batu dua singa raksasa juga masih berdiri tegak.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Labirin atau gang-gang sempit di Thamel, Kathmandu, Nepal, sangat terkenal di kalangan trekker atau pendaki gunung Himalaya. Berbagai macam perlengkapan trekking tersedia di sini, begitu pula suvenir.
Kita bisa berjalan perlahan menikmati beberapa candi di kompleks Bhaktapur Durbar sambil berinteraksi dengan masyarakat lokal yang duduk-duduk di pinggir gang-gang di kota tua itu. Kota yang berdinding terakota ini juga menyimpan keunikan lain. Meskipun tua, di beberapa sudut kota terpampang iklan sekolah-sekolah internasional, mulai dari SD hingga SMA.

Rupanya, warga Nepal pun tak mau ketinggalan dengan derap kemajuan zaman. Banyak orangtua mengirim anak-anak mereka ke sekolah internasional yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris agar anak-anak mereka bisa berkomunikasi dengan banyak turis asing yang mengunjungi Nepal.

Dari Bhaktapur, jika ingin melihat pemandangan sawah terasering dan barisan gunung di Himalaya, Anda bisa naik ke Nagarkot yang berjarak 32 kilometer dari Kathmandu. Nagarkot masih berada di Distrik Bhaktapur di zona Bagmati. Dengan ketinggian 2.195 meter di atas permukaan laut, Nagarkot menjadi area di wilayah Bhaktapur dengan pemandangan alam yang cantik. Ada delapan dari 13 puncak gunung berselimutkan salju di Himalaya yang bisa Anda pandang jika datang pada waktu yang tepat, Maret-April atau Oktober-November.

Phokara

Satu kota di Nepal yang juga menarik perhatian saya adalah Phokara. Terletak 200 kilometer di sebelah barat Kathmandu, Phokara yang berada tepat di kaki Gunung Annapurna ini bisa ditempuh dalam waktu 7 jam menggunakan bus turis. Jika menumpang pesawat terbang, waktu tempuh cuma 40 menit.

Saya memilih menggunakan bus turis biasa tanpa penyejuk ruangan yang tiketnya Rs 600 (sekitar Rp 60.000). Menurut saya, kita tak perlu menggunakan AC karena perjalanan Kathmandu-Phokara cukup nyaman.

Bus berhenti dua kali untuk memberikan kesempatan penumpang beristirahat, masing-masing setengah jam. Jendela bus bisa dibuka lebar, sambil menikmati pemandangan lembah, sungai, sawah terasering, dan gunung sepanjang jalan menuju Phokara. Perjalanan 7 jam pun tak terasa.

Di Phokara, kita bisa menghabiskan waktu dengan duduk melamun atau refleksi di tepi Danau Phewa atau Fewa, bahkan juga bisa ikut meditasi gratis di beberapa sanggar yoga dan meditasi. Tak cukup menantang fisik, silakan menyusuri jalan setapak ke Sarangkot, melihat deretan pegunungan salju barisan Annapurna Circuit (Maret-April dan Oktober-November), melihat Danau Phewa dari ketinggian sambil menyaksikan serunya puluhan turis terbang dengan paralayang yang terjun dari atas Sarangkot dan melayang-layang di atas danau.

Karena menyewa sepeda motor untuk berkeliling Phokara, saya lebih leluasa menjelajah. Tanpa sengaja ketika hendak menuju Kuil Bindabasini, sebuah kuil Hindu yang sangat terkenal di kalangan peziarah agama itu, saya bertemu dengan rombongan besar yang tengah merayakan Gaijatra, perayaan untuk memperingati keluarga yang meninggal.

Saat melaksanakan prosesi Gaijatra di jalanan, biasanya sebuah keluarga menuntun seekor sapi. Namun, jika tak mampu, anak-anak kecil pun akan didandani dengan kostum sapi.

Beberapa museum bisa dikunjungi, termasuk Museum Gorkha Memorial, Museum Wilayah Phokara, dan Museum Annapurna. Selain itu, ada juga Air Terjun Devi yang letaknya tak jauh dari Kamp Pengungsi Tibet Tashiling dan Biara Dragyling. Para pengungsi warga Tibet tersebut mengaku telah puluhan tahun berada di sana, bahkan sudah beranak pinak. Mereka membangun sendiri lokasi pengungsian tersebut dengan bantuan dana internasional. Pemerintah Nepal mendukung dengan menyediakan lahan.

”Saya dan adik-adik saya lahir di sini. Orangtua saya membangun sendiri rumah ini. Begitu juga keluarga saya yang lain, juga tetangga-tetangga saya, mereka membangun rumah mereka sendiri,” kata Tse Lhamo (27).

Setelah berbincang sejenak dan diizinkan melongok ke dalam rumahnya, Tse Lhamo menyarankan saya menuju Stupa Perdamaian Dunia yang terletak di atas bukit yang berseberangan dengan Sarangkot dan dipisahkan oleh Danau Phewa.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Perayaan Gaijatra di Pashupatinath, Kathmandu, Nepal, untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kunjungan ke stupa Buddha tak hanya di Phokara. Kembali ke Kathmandu, saya juga mengunjungi Stupa Bouddhanath yang merupakan salah satu stupa kuno terbesar di dunia. Lokasi stupa raksasa ini terletak di rute perdagangan kuno dari Tibet memasuki Kathmandu. Oleh karena itu, lokasi itu disebut ”Little Tibet”. Saat saya ke sana Agustus lalu, warga Buddha pun merayakan Gaijatra. Ribuan orang berjejalan mengelilingi stupa.

Begitu pun di Kuil Pashupatinath. Perayaan Gaijatra masih berlangsung di tengah beberapa keluarga yang sedang sibuk mengurus pembakaran jenazah anggota keluarga.

Tak ada yang abadi di muka bumi ini. Tinggal yang masih hiduplah yang mengirim serangkaian doa untuk keluarga yang meninggal agar jiwa mereka cepat mencapai nirwana. Dalam keriuhan perayaan Gaijatra, doa-doa pun dikumandangkan. (Elok Dyah Messwati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com