Sofa itu sudah robek di sana-sini. Busanya sebagian sudah hilang dan menyisakan ceruk yang menampakkan kerangka kursinya saja. Namun, Kadul tidak bisa membuang sofa butut itu karena benda tersebut masih sangat berharga baginya. Setiap hari ia menerima tamu, yang kebanyakan adalah teman- temannya.
Nama aslinya adalah Sukadi, tapi ia lebih suka dipanggil Kadul. Jangankan mengganti perangkat rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Kadul kesulitan. Ia tinggal di rumah kayu peninggalan kakeknya bersama anak, menantu, dan tiga cucunya. Dinding rumah kayu itu sudah berlubang di sana-sini dan lapuk karena dimakan usia.
Kalimat Dhulur Tunggal Sekapal (saudara satu kapal) menjadi semacam pengingat bagi Kadul dan juga ribuan orang di Sawahlunto lainnya akan keberadaan mereka di kota batubara itu. Mereka adalah keturunan orang rantai.
Orang rantai adalah pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Sawahlunto untuk menggali tambang batubara dan menyiapkan infrastruktur untuk keperluan tambang. Belanda mendatangkan orang rantai dari penjara-penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar dari daerah Pulau Jawa lainnya.
Mereka didatangkan pada kurun 1892-1938 dengan kapal-kapal penumpang yang mengangkut orang-orang Belanda dan Eropa. Sepanjang perjalanan, kaki dan tangan para tahanan itu dirantai dengan rantai besi.
Selama pelayaran yang memakan waktu 3-5 hari, orang rantai ditempatkan di dek-dek pengap di bagian lambung kapal dan berdesak-desakkan. Mereka yang melawan diancam hukuman cambuk atau diceburkan ke laut. Penderitaan selama pelayaran ini memunculkan tekad bersaudara di antara sesama orang rantai, terutama yang berasal dari Jawa.
Orang rantai ini dibawa menuju pelabuhan kecil Teluk Bayur di kota Padang. Di sana mereka kemudian membangun pelabuhan besar untuk keperluan batubara yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Emma Haven. Orang rantai juga dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto.
Tahanan orang rantai ini kemudian digiring menuju Sawahlunto untuk masuk ke lubang-lubang gelap perut bumi Sawahlunto guna menggali batubara di tambang Ombilin (Sawahlunto). Arang hitam itu diangkut dengan kapal-kapal ke Belanda dan sebagian dikirim ke luar Sumatera untuk keperluan kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kapal perang Belanda untuk menyerang Aceh.
Rantai besi
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.