Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Astuti dan Sariyah Kokoh dalam Tradisi

Kompas.com - 24/02/2014, 13:15 WIB

Apakah Mbak Sariyah juga mengalami hal yang sama?

Sariyah: Sekitar awal tahun 1990, saya jarang pulang karena berkeliling dengan jadwal pentas yang padat. Pada Januari sampai Agustus, bersama kelompok Winarna Rawalo, kami keliling dari Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, hingga Wonosobo.

Ke mana lagi Anda pernah diundang untuk menari lengger?

Sariyah: Pernah dikontak secara pribadi ke Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana saya diiringi grup musik setempat.

Sebelum ditahbiskan sebagai penari lengger, Sariyah juga menjalani laku yang sama kerasnya dengan Astuti. Seluruh persyaratan, seperti berpuasa dan lainnya, ia jalani dengan kesadaran memperoleh indang (wahyu) lengger. Biasanya di beberapa desa yang memiliki tradisi lengger, terdapat semacam petilasan, tempat menggelar ritus untuk meminta indang. Petilasan Panembahan Panggihsari di Desa Somakaton adalah salah satu dari beberapa petilasan yang ada.

Kalau lengger masa kini apakah melakukan laku tirakatan itu?

Sariyah: Penari-penari sekarang ndak ada lagi yang mau puasa, apalagi prihatin. Mereka hanya modal cantik dan bisa goyang, sudah cukup.

Bagaimana Anda bisa bersaing dengan mereka bergoyang?

Sariyah: Sekarang, kan, banyak lengger yang disatukan dengan organ tunggal terus nyanyi dangdut. Sejak tahun 2000-an karena tanggapan lengger makin sepi, saya membuka rias pengantin.

Astuti: Saya membuka warung kecil-kecilan di rumah untuk kebutuhan sehari-hari.

Seni rakyat ini kini sedang berada di tubir jurang. Ia seperti bagian dari masa lalu yang penuh keprihatinan hidup. Padahal di dalamnya penuh dengan filosofi yang mengajarkan kedisiplinan, laku pasrah, dan hidup sebagaimana adanya, tidak neko-neko. Sederhana seperti rakyat jelata. Bukankah itu yang sulit dijalani sekarang oleh manusia modern?

Budayawan Ahmad Tohari mengatakan, bisa saja lengger diperbarui dengan memasukkan unsur-unsur seni populer seperti organ tunggal dan dangdut. Namun, kata dia, laku hidup sederhana yang menguatkan kepribadian sebagai kaum rakyat harus tetap dipelihara. Itulah sumbangan terbesar seni rakyat dalam kehidupan bernegara sekarang ini. ”Begitu, kan?” kata penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini.

Astuti dan Sariyah, dua penari dari desa, yang kalau menari diantar motor menuju lokasi pentas, telah mengajarkan kesetiaan, kejujuran, dan laku prihatin yang akan mereka kukuhi sampai mati. (Putu Fajar Arcana dan Gregorius M Finesso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com