Ada apa di Taman Nasional Komodo? Semua warga global sudah mengetahuinya. Ada binatang purba yang masih hidup di Taman Nasional Komodo. Nama binatang ajaib itu adalah binatang raksasa Komodo. Bahkan, pada September 2014 lalu digelar hajatan global yang disebut Sail Komodo.
Pada puncak Sail Komodo, ribuan wisatawan, baik wisatawan menggunakan kapal layar (yacht) dari berbagai dunia memadai laut Labuan Bajo. Bergemanya Sail Komodo yang secara khusus dipromosikan seluas-luasnya memberikan dampak pada perkembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat pada khususnya dan di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Selain Tari Caci yang sudah terkenal di kalangan masyarakat Manggarai Raya, ada tradisi-tradisi yang terus diupacarakan di rumah-rumah adat di seluruh Manggarai Raya. Salah satu tradisi itu adalah Tradisi “Kapu Agu Naka”.
Pada bulan Juli 2014, salah satu suku di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat menggelar ritual “Kapu Agu Naka”. Kapu artinya pangku dan Naka artinya, riang. Kapu agu Naka diartikan memangku seseorang dengan penuh riang atas berbagai keberhasilan, baik memberikan keturunan yang berkembang banyak maupun kesuksesan dalam menggarap sawah, kebun dan sekolah.
Ritual ini selalu ditunda-tunda karena kemampuan warga yang terbatas untuk membeli berbagai hewan, seperti kerbau, babi dan ayam serta menyiapkan berbagai kebutuhan dalam ucapara tersebut. Lalu ditunda-tunda acaranya maka leluhur memberikan teguran kepada keturunannya berupa sakit yang tidak pernah sembuh, tersendat-sendat keberhasilan dalam pendidikan perguruan tinggi.
Menganalisis tanda-tanda itu ditambah dengan mimpi dari sejumlah warga maka tetua adat Kampung Paang Lembor sepakat menggelar tradisi “Kapu Agu Naka”.
Benediktus menjelaskan, Empo Tok adalah anak tunggal dari keturunan Sor Mondong (ayahnya). Saat bertumbuh besar dan menjadi pemuda serta memiliki keluarga, Empo Tok menggelar ritual “Oke Lewang Leca Kando Lalo” artinya buang semua sial dan cukup dia saja yang menjadi anak tunggal.
Dalam ritual itu, Empok Tok mengambil seekor ayam jantan warna putih. Lalu dia “Wada” atau bersumpah: "Ini ayam putih. Karena saya hidup sendirian melalui ayam warna putih ini saya minta berkat dari Yang Maha Kuasa agar keturunan saya berkembang biak di kemudian hari. Cukup saya saja yang anak tunggal. Apabila permohonanku terwujud maka keturunan saya menggelar ritual Kapu Agu Naka sebagai ucapan terima kasih dan bersyukur atas rahmatMu dengan kerbau berwarna belang-belang."
Sesudah gelar ritual itu, sebagaimana dikisahkan nenek moyang, Benediktus menuturkan, Empo Tok memperistrikan Anos. Hasil perkawinannya lahirlah anak-anak mereka yakni Tonjong (anak sulung), Panjong (anak kedua), Koro (anak ketiga) dan Golo (anak bungsu).
Lalu Benediktus menjelaskan, keturunannya mulai lupa atas pesan leluhur mereka mengakibatkan “do Nangki” artinya, bermacam musibah sakit yang tak pernah disembuhkan. Kadang-kadang hadir dalam mimpi. Ada banyak warga Kampung Paang Lembor sakit dan berobat di Rumah Sakit di Manggarai Raya, namun, tidak pernah sembuh.