"Hati-hati, kejebak salju atau cuaca buruk, bisa-bisa kalian susah pulang."
Kalimat itu yang pertama terlontar dari mertua ketika kami menyatakan ingin menikmati pergantian tahun 2014 ke 2015 di daerah Régagnas. Daerah ini sebenarnya jika dilihat yang tertera hanyalah merupakan hutan, dataran di pegunungan. Tak ada nama desanya. Bahkan ketika kami mencoba mencari informasi di internet pun tak ada muncul desa Régagnas, kecuali tertera hutan!
Bagaimana bisa kami menemukan tempat penginapan di sana? Awal mulanya karena kami sedang sibuk dengan urusan pindah rumah, renovasi dan sebagainya, kami belum tahu atau merencanakan untuk menikmati pergantian tahun. Apakah dengan teman-teman seperti biasanya atau dengan keluarga suami.
Namun karena banyak sekali kesibukan dari kami berdua di bulan Desember 2014, rasanya saya dan Kang Dadang (David), membutuhkan waktu untuk berlibur dengan santai, hanya dengan kedua anak kami. Apalagi kalau bukan menghabiskan liburan dengan alam pegunungan yang bisa membuat otak yang sudah dijejali banyak kepadatan aktivitas menjadi kembali segar!
Akhirnya kami melihat sebuah iklan bertuliskan, "Peternakan régagnas di daerah Cevennes, di peternakan ini anda bisa menikmati penginapan kami, dengan pemandangan Cevennes yang indah, dikelilingi oleh ratusan kuda. Anda akan bisa menikmati liburan dengan ketenangan abadi!"
Iklan yang menarik, cocok buat kami yang mencari ketenangan. Tanpa pikir panjang, kami segera memesan rumah gunung tersebut untuk 3 hari. Beberapa komentar dari orang yang pernah menginap di tempat itu adalah lingkungan dijamin seratus persen alam bebas, tak ada koneksi internet dan tak ada toko apa pun. Bila ingin membeli sesuatu harus ke kampung tetangga, yang terdekat adalah 20 menit atau sekitar 10 km. Waduh!
Tentu saja, kami agak terkejut. Karena terlalu semangat menemukan tempat yang kosong untuk disewakan, sampai lupa membaca terlebih dahulu komentar-komentar dari para penginap sebelumnya. Membayangkan akan menyepi selama 3 hari, maka kami mencoba membawa persediaan makanan selengkap mungkin dan tentunya berbagai permainan keluarga tak lupa juga, untuk mengisi waktu senggang.
Sebelum tiba di Régagnas, kami bermaksud untuk piknik. Nasi, ayam goreng bawang putih, tempe buatan Kang Dadang dan telur dadar sudah kami siapkan di rantang. Betul rantang, dan kami bangga sekali memang dengan sistim rantang yang kami bawa dari Indonesia ini, karena hanya kami yang punya setiap kami piknik di Perancis.
Kota La Couvertoirade yang kami pilih. Bangunan benteng peninggalan ksatria templar. Sayang sekali, rupanya di akhir tahun benteng ini tutup, dan kota Couvertoirade sendiri, menjadi kota mati. Bangunan tempat tinggal jendela semua tertutup rapat. Toko-toko, di depan pintu masuknya berserakan daun kering dan mati, tanda sudah lama tak disapu karena tak berpenghuni.
Kami pun selama berjalan dibuat menggigil, gemetar keempat tubuh ini karena diterpa angin kencang dan beku. Saya dan Kang Dadang, hanya bisa tertawa geli, ide kami piknik dengan cuaca seperti ini memang salah alamat!
Kami berlari menuju mobil, segera menghangatkan tubuh dengan pemanas. Secara cepat, kaca mobil menjadi tertutup lapisan putih, lapisan es tipis dari angin di musim dingin. Tak ada pilihan, berpikniklah kami di dalam mobil. Makanan ala Indonesia menghibur hati yang tadinya kecut oleh cuaca. Kang Dadang, tak pernah ketinggalan sambal jika makan dengan nasi, membuat perut yang tadinya beku jadi hangat.
Ketika tak jauh melihat papan bertuliskan nama suatu kampung, kami mulai bernapas, karena berarti akan ada tanda kehidupan. Nihil! Kota yang kami lewati pun tak ada satu batang hidung yang terlihat. Bahkan biasanya, kucing atau anjing liarpun terlihat ini tak ada tanda kehidupan. Penasaran sekali saya, seperti apakah desa yang akan kami datangi nantinya.
Dua kampung yang telah kami lewati, keduanya senyap, hanya bangunan kaku tanpa tanda berpenghuni, saya mulai gundah, takut jika memang akan terasing kami berempat selama beberapa hari. Hingga nama Régagnas tertulis di papan, akhirnya! Sampailah kami di tujuan. Tapi ketika kami memasuki daerah tersebut rupanya kampung ini merupakan jalan buntu.
Mendatanginya, berarti berhenti di sini. Sesuai dengan petunjuk pemilik penginapan kami memberhentikan mobil di depan sebuah kandang kuda. Dua kuda besar dan gagah yang menyambut kami dengan ringkikan. Tapi tetap tak ada manusia yang menemui kami.
Suara wanita yang menjelaskan, jika ia sedang berada di kota lain, dan rumah yang disewakan kepada kami telah ia persiapkan. Ia menerangkan letak rumah rumah yang akan tinggalkan dan pintunya tak terkunci, jadi kami bisa masuk, pemanas juga sudah ia pasang sejak kemarin malam. "Hah?" kata saya, jadi sampai di sini pun tak ada seorangpun yang akan kami temui? Benar-benar hanya kami penghuni kampung ini? Merinding saya membayangkan, karena kampung ini begitu sepi.
Tapi Kang Dadang segera menerangkan, jika besok pemilik dan keluarganya akan datang. Karena pemiliknya adalah seorang penjinak dan pelatih khusus kuda yang dibantu oleh putrinya. Dan putri sulungnya adalah seorang perajin keramik cukup terkenal. Dan mereka memang hidup di sini, hanya saat ini semuanya sedang berada di beberapa kota lain. Ohhhh, baguslah, karena tidak bisa membayangkan juga, terpencil selama berhari-hari.
Ketika rumah tak terkunci kami masuki, brrrrrr... kami menggigil. Padahal pemanas memang sudah dijalankan. Namun hangatnya tak menyebar secara bijak. Hanya tempat tertentu saja yang dibuat hangat. Rumah kecil bertingkat dengan dua kamar berlapis kayu. Tak ada yang istimewa dari rumah ini, baik dari arsitektur hingga dekorasinya, sangat standar.
Namun bukan waktunya mengeluh. Setelah semua barang kami taruh, sore harinya kami berniat berjalan kaki, karena hutan berada di belakang desa ini.
Kami panik, karena tak menyangka akan terbentur dengan situasi ini. Saya lihat raut Kang Dadang yang mulai tegang, namun berusaha tenang. Suhu turun drastis. Bazile, mulai merengek, karena ia tak kuat kuping dan tangannya membeku, meskipun telah ditutupi topi dan sarung tangan. Ohhhh, keasyikan berjalan, membuat kami lengah dengan situasi.
David berusaha menemukan jalan kembali menuju penginapan kami, hanya dengan baterai dari telepon genggam saja kami menyusuri jalan. Bazile tak berhenti bertanya, "Kita nyasar ya? Betul kan kita nyasar? Aku nggak mau nyasar nanti ada srigala yang serang aku!" katanya. Duh Bazile...
(DINI KUSMANA MASSABUAU) (Bersambung)