Miftahuddin, 28 tahun, terlihat santai ketika bersiap-siap melakukan pemanjatan. Tidak ada rasa ragu yang terbesit di wajahnya. Ia hanya tertawa seraya memasukkan tangannya ke kantong magnesium yang terbelit di pinggangnya. Semua orang yang mengantar pemanjatannya berdebar jantungnya. Pria kelahiran Kampung Cihuni ini tetap teguh hati untuk memulai aksi “gila”.
Miftah akan memanjat Tebing Parang Tower Tiga dengan jalur bernama Bandung Rock. Menurut catatan sejarah panjat tebing Indonesia, Tebing Parang dahulu dipopulerkan oleh pemanjat dari ITB, kelompok Skygers, dan Kopassus. Tebing Parang sendiri terdiri dari tiga tower yang memiliki ketinggian yang berbeda. Tower 1 dan 2 berdampingan menyembul dengan puncak kecilnya. Sementara Tower 3 puncaknya memanjang. Masing-masing berketinggian 955, 896, dan 879 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Berdasarkan jenis penggunaan pengaman dalam panjat tebing, jenis pemanjatan yang dilakukan Miftah tergolong ke dalam Free Soloing Climbing. Jenis pemanjatan ini merupakan bagian dari Free Climbing. Dalam pergerakannya, pemanjat harus menghadapi segala risiko karena tidak menggunakan alat pengaman dalam pemanjatannya. Untuk melakukan hal ini, Miftah dituntut untuk benar-benar mengetahui segala bentuk rintangan dan bentuk pergerakan yang akan dilaluinya.
Tim Kompas.com berkesempatan untuk mendokumentasikan aksi gila ini. “Belay on”, teriak saya mengawali pemanjatan. “On belay”, sahut Jalal (20), pemuda Cihuni yang mengamankan emanjatan saya. Teriakan tersebut merupakan tanda komunikasi untuk memulai suatu pemanjatan. pertanda pemanjat siap melakukan pemanjatan. Sementara "on belay" berarti pemanjatan telah diamankan. Tangan saya meraba-raba halusnya tebing demi satu pegangan. Sementara sang kaki harus berjibaku mencari pijakan.
Dari teras (pitch) satu dengan ketinggian sekitar 30 meter, saya memandang Miftah dengan perasaan ngilu. Saya membayangkan bagaimana nasibnya jika ia salah memijak atau memegang rekahan tebing atau bahkan terpeleset. Walaupun sudah memakai helm, risiko cedera berat selalu menghantuinya. Jika jatuh, dapat dipastikan tulangnya patah tak beraturan. Namun ia tetap terlihat santai. Kaki dan tangannya menempel rekat bagaikan cicak yang sedang merayap di dinding.
Sementara, Fikri yang ada di sampingnya hampir tak bergeming. Lewat lensa, ia mengabadikan si manusia cicak ini. Dengan kemiringan tebing sekitar 80-90 derajat, Miftah terkadang beristirahat hanya dengan berdiri tanpa memegang tebing. Sekali lagi ia berhasil membuat jantung kami berdegup kencang dengan aksinya.
Roderick Adrian Mozes atau kerap disapa Riki, tak mau ketinggalan untuk merekam aksi pemuda kelahiran tahun 1986 ini dengan menerbangkan drone untuk mendapatkan sudut yang berbeda.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.