Sebelum ada kawasan wisata di ujung desa, mereka membawa hasil kebun dan hutan itu ke pasar kelurahan atau kecamatan. Dengan demikian, harus keluar ongkos untuk mengangkut beberapa butir durian atau beberapa kilogram manggis dan rambutan.
Warga Ceruk memang petani yang sangat menghormati alam. Mereka hanya mengambil durian yang jatuh dari pohon, tanda buah sudah matang. Rambutan dan manggis diambil atau dipetik hanya saat dipastikan sudah masak.
Hasil penjualan kerap tidak sebanding antara waktu menunggu dan merawat tanaman serta biaya angkutnya ke pasar. Walau hanya menghabiskan tidak sampai 1 liter premium untuk sepeda motor, mereka tetap butuh biaya.
Sekarang, mereka cukup menjajakan hasil kebun tersebut di depan rumah dengan harga yang sama dengan harga di pasar. Bedanya, mereka tidak perlu menghabiskan waktu dan biaya untuk berdagang di pasar. Mereka bisa berdagang sembari melakukan pekerjaan lain di rumah.
Tidak hanya petani yang bisa menikmati Desa Wisata Ceruk. Para seniman juga bisa mendapatkan hasilnya. Secara berkala, mereka diundang pentas di kawasan wisata Ceruk. Undangan paling banyak biasanya pada musim liburan sekolah.
Pengelola kawasan wisata ingin sekaligus mengenalkan kesenian dan kebudayaan Natuna kepada anak-anak. Di tempat wisata, anak-anak bisa bermain sembari menyaksikan pencak silat khas Natuna, teater lokal berdasarkan cerita rakyat, hingga musik tradisional.