Panen lestari
Ketiganya berasal dari Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur. Desa ini dikenal sebagai desa asal pemanjat yang sudah muncul sejak tujuh generasi lalu. Sehari-hari mereka adalah petani. Saat musim panen madu, mereka berburu hingga ke kabupaten lain, seperti Lembata, Sikka, hingga Alor. Biasanya, tim pemanjat bekerja sama dengan pemilik pohon inang sarang dengan pembagian madu 50 : 50. Separuh untuk pemilik pohon, separuh lagi untuk tim. Ada pula yang menerapkan pembagian 30 : 30 : 30 untuk pemilik pohon, pemanjat, dan pembantu pemanjat.
Yoseph dan kawan-kawan dari Kelompok Madu Hutan Flores yang tergabung dalam Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) menerapkan panen lestari. Mereka tidak mengambil seluruh sarang, tetapi hanya kepala sarang yang mengandung madu. Mereka menyisakan bagian sarang yang memuat anak lebah, telur, dan lilin. Dari satu sarang bisa dipanen 3-4 kali. ”Praktik terdahulu, seluruh sarang dipotong habis, diperas, lalu dibakar,” kata Moses.
Padahal, selain menghabiskan potensi madu berikutnya, praktik ini juga menurunkan kualitas madu. Madu yang mengandung enzim dari lebah akan berfermentasi dan menghasilkan alkohol jika terkontaminasi dengan kotoran dari perasan sarang atau sisa kaki atau sayap lebah. Jika ditempatkan di dalam botol plastik, akan menggembung.