Harga bahan baku dari luar Aceh lebih mahal 10-20 persen. Seorang perajin songket Aceh sekaligus murid Nyak Mu, Jasmani (50), mengatakan, hal itu membuat perajin tidak berani berkreasi membuat produk turunan kain songket, seperti dompet dan peci. Perajin fokus membuat kain. Ketergantungan bahan baku dari luar juga sering menghambat produksi karena bahan lambat datang.
”Kami berharap pemerintah bisa memastikan ketersediaan, bahkan subsidi bahan baku,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh Ellita mengatakan, untuk pelestarian, pihaknya berupaya menyosialisasikan dan melatih cara tenun songket ke generasi muda ataupun ibu rumah tangga di Aceh setiap tahun.
Namun, program itu bertahap karena anggaran terbatas. Mereka pun menyediakan galeri di setiap kantor dekranasda di Aceh untuk membantu pemasaran dan promosi songket Aceh.
”Selain itu, kami terus berupaya mendorong pemerintah menarik investor mendirikan pabrik bahan baku tekstil di sini,” katanya.
Dosen sejarah pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim, mengatakan, budaya membuat songket berkembang di Aceh sejak abad ke-18 pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Hal itu dipengaruhi budaya menenun orang India yang banyak datang berdagang di Aceh.