Gerakan tari itu menggambarkan peperangan antara Syekh Benting dan Ki Gede Kapetakan yang akhirnya dimenangi Syekh Benting.
Ada pula sesepuh yang menyebut gerakan tari itu menggambarkan kegagahan prajurit Cirebon saat mengusir Portugis dari Malaka.
Dalam setiap pementasan, angklung tua yang dirawat Adina dibawa sebagai simbol dalam kesenian itu. Karena keterbatasan angklung, kelompok Jaka Bakti pimpinan Adina, kini, beralih ke instrumen gamelan, yakni gong, kendang, krecek, titir, dan tutukan, untuk mengiringi tarian mereka.
Grup angklung bungko lainnya, Jaka Mulya, yang dibina oleh Sukarminto (51), mulai merintis kembali menggunakan ansambel angklung. Kendati demikian, kelompok ini tetap mengikutkan instrumen gamelan dalam penampilannya.
Pembinaan lemah
Berbeda dengan jenis kesenian lainnya di Cirebon, angklung bungko cenderung tenggelam. Tarian perang itu hanya dimainkan saat upacara adat, seperti munjungan atau hari jadi desa, mapag sri ketika panen, sedekah bumi saat memulai tanam padi, dan nadran atau selamatan laut.
”Tahun 2005, kesenian angklung bungko pernah tampil dalam Festival Istiqlal di Jakarta,” kenang Sukarminto.
Mencari generasi baru penari angklung bungko sama sulitnya dengan mengeluarkan nelayan Bungko dari utang tengkulak. ”Kalau mau mencari penari, susah karena warga yang kebanyakan nelayan di sini butuh waktu banyak mencari ikan,” ujarnya.
Dengan penghasilan mencari ikan yang kadang hanya Rp 15.000 per hari, para seniman yang juga nelayan itu tidak bisa optimal mengembangkan angklung bungko.
Pemerintah Kabupaten Cirebon pun seperti lupa memiliki warisan seni tari perang beserta angklung sejak abad ke-15, yang tak ternilai tersebut.
”Modal sosial-budaya orang Cirebon disia-siakan. Seharusnya fungsi pembinaan seni-budaya dijalankan pemerintah, tetapi hal yang demikian itu tidak terjadi di Cirebon,” ujar Ahmad Raffan Safari, peneliti naskah kuno atau filolog Cirebon.
Investasi di bidang kebudayaan sama sepinya dengan konsep pembangunan seni-budaya di Cirebon. Modal sosial-budaya yang tumbuh sejak ratusan lalu berupa kuliner, busana, tari, musik, arsitektur, lukisan, tata kota, hingga wahana batiniah warganya yang majemuk, kurang disentuh.
Jargon menumbuhkan pariwisata berbasis budaya maknanya sama keringnya dengan pertumbuhan hotel-hotel yang tak terkendali di Cirebon, hilangnya bangunan cagar budaya, dan banjir di mana-mana.
Ironi sebuah kota budaya. (RINI KUSTIASIH dan ABDULLAH FIKRI ASHRI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.