Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Lawang Sakepeng", Berjuang ke Satu Tujuan

Kompas.com - 29/03/2016, 09:34 WIB

”Mereka beradu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pernikahan, mereka memiliki satu tujuan bersama membangun hidup baru dan juga bersama-sama menghalau rintangan yang ada,” kata Sius.

Sius mengatakan, gerakan-gerakan pencak silat suku Dayak yang ditampilkan saat ini merupakan kolaborasi dari berbagai jenis pencak silat, misalnya dari Tiongkok, Betawi, dan Melayu.

Namun, pada zaman dahulu para nenek moyang suku Dayak pertama- tama belajar silat dari mengamati tingkah laku hewan, terutama bangkui atau beruk yang lincah di hutan.

Seperti disebutkan dalam buku Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah oleh Teras Mihing, dan kawan-kawan (penyunting: Kiwok D Rampai, 1994), tradisi lawang sakepeng selain untuk memeriahkan kedatangan pengantin laki-laki, juga dianggap memiliki nilai magis-religius.

Maksudnya adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa calon suami-istri dalam membina kehidupan rumah tangga.

Kedua pesilat yang berhadapan itu juga melambangkan bahwa segala rintangan dan persoalan suami-istri akan dapat diatasi jika mereka senantiasa rukun, bekerja sama, dan saling membantu.

Sosiolog dari Universitas Palangkaraya Sidik R Usop mengatakan, lawang sakepeng merupakan simbol perjuangan untuk memulai hubungan yang baru, lebih dekat, dan lebih akrab dalam rumah tangga.

”Dalam interaksi sosial itu tidak cukup hanya ditunjukkan dengan suatu ikatan, tapi juga harus diwujudkan dalam perjuangan yang nyata,” kata Sidik.

Ia juga menyampaikan, hubungan yang baru di dalam perkawinan itu juga melibatkan kedua belah pihak keluarga besar. ”Sistem perkawinan suku Dayak akan melahirkan apa yang disebut extended family atau keluarga luas,” kata Sidik.

Menurut Sidik, lawang sakepeng yang dimaknai sebagai perjuangan di dalam menata interaksi sosial antarkeluarga jadi bagian yang harus diperjuangkan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan bersama.

Dalam interaksi sosial itu, kata Sidik, juga berkaitan dengan belom bahadat, yaitu tata krama bagaimana hubungan manusia dengan manusia diatur. Hubungan sosial itu bukan suatu hal yang bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com