Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Turis Pun Melenggang ke Pasar

Kompas.com - 30/03/2016, 16:41 WIB

PASAR tradisional tidak selalu kumuh. Di Kota Malang, Jawa Timur, pasar tradisional bahkan kini dikemas menjadi salah satu tempat wisata keluarga yang mendidik dan menghibur.

Tak jarang, wisatawan dari luar daerah ataupun wisatawan asing pun tertarik mengunjunginya, seperti di Pasar Oro-Oro Dowo di Jalan Guntur, Kecamatan Klojen.

Bagian depan pasar yang berada di sebelah hutan kota Malabar ini tidak jauh berbeda dengan pasar-pasar tradisional lain. Hanya saja, kios-kios bagian depan terlihat kuno, dengan pintu dan jendela kayu sebagai ciri khasnya.

Bagian atap pasar tinggi dengan model seperti hanggar pesawat. Bagian samping atap dibiarkan terbuka sehingga sirkulasi udara dan pencahayaan sangat baik.

Tidak tampak kesan kumuh pada pasar tersebut. Tidak ada barang dagangan berserakan di lantai, atau gang penuh tumpukan barang milik pedagang. Juga tidak tercium bau menyengat yang membuat pengunjung ingin lekas berlalu.

Suasana pasar dengan sirkulasi udara dan pencahayaan yang bagus benar-benar menyenangkan karena bersih. Kios dan los pedagang tertata rapi serta terdapat kursi duduk di bagian depan pintu masuk pasar.

Di pasar ini ada 250 stan, di mana 170 di antaranya berbentuk los (kios terbuka) dan sisanya merupakan kios tertutup.

Di dalam pasar yang berdiri di atas lahan 3.400 meter persegi itu juga terdapat tempat duduk, juga ruang menyusui, mushala, tempat pengolahan kompos, serta disediakan troli belanja. Dalam pasar juga diterapkan zonanisasi sesuai komoditas yang dijual.

Warung makan berada di pinggir pasar, penjual sayur di tengah, adapun pedagang ikan dan ayam di sisi kanan pasar. Di setiap los atau kios terpasang nama pedagang, misalnya kios sayur Bu Yanti.

Beberapa sudut tembok terdapat tulisan yang berisi peringatan untuk menjaga kebersihan, dan ancaman denda Rp 1 juta bagi mereka yang membuang sampah sembarangan.

Tak heran jika pasar ini menjadi tempat wisata keluarga. Wisatawan dari luar Kota Malang, juga turis asing, sering terlihat blusukan ke pasar ini.

”Kami menyebutnya pasar rakyat karena siapa saja bisa belanja dan menikmati pasar ini,” kata Kepala Pasar Oro-Oro Dowo Endang Sri Sundari, Kamis (24/3/2016).

Pasar peninggalan Belanda yang dibangun sekitar 1920 tersebut memang sudah tertata karena pelanggannya kelas menengah ke atas. Konsumen pasar didominasi penghuni perumahan di kawasan Ijen, Jalan Muria, yang dihuni kalangan menengah ke atas.

Kondisi pasar semakin bagus setelah direvitalisasi pada Agustus-Desember 2015 dengan dana APBN Rp 7 miliar. Sejak itu, Pasar Oro-oro Dowo menjadi pasar tradisional percontohan tingkat nasional.

”Pasar ini memang bagian cagar budaya peninggalan Belanda sehingga revitalisasi tidak mengubah semua bagian pasar. Bagian depan pasar dibiarkan seperti awalnya,” kata Endang.

Turun-temurun

Selain Pasar Oro-Oro Dowo, pasar yang lama dan masih asli adalah Pasar Talun, di balik pertokoan Kayutangan. Untuk ke sana, orang harus meniti gang 6 Jalan Basuki Rahmat dan berjalan kaki sekitar 100 meter dari jalan utama Jalan Basuki Rahmat. Pasar ini berada di tengah-tengah perkampungan.

Kondisi Pasar Talun tidak sebaik Pasar Oro-Oro Dowo, tetapi unik karena modelnya terbuka dan kuno. Lahannya juga tak luas, hanya sekitar 15 x 12 meter. Pasar terbagi dalam empat lajur los dengan masing-masing lajur terdiri atas empat bagian kotak berukuran 3 x 3 meter.

Setiap bagian terdiri atas pedagang dengan los-los kayu kecil. Los sebenarnya muat untuk 64 pedagang. Namun kini tinggal 13 pedagang karena meninggal atau sakit, dan umumnya pedagang turun-temurun.

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI Suasana pasar tradisional Talun di kawasan Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (24/3/2016). Pasar Talun merupakan salah satu pasar kuno di Kota Malang yang diduga sudah ada sejak tahun 1900-an. Sebagian besar kondisi pasar tersebut masih asli seperti semula. Pasar tradisional itu berada di balik pertokoan modern dan kepadatan kawasan Kayutangan.
Meski lokasinya kecil, di sudut belakang pertokoan megah Kayutangan, dan hanya diisi belasan pedagang, Pasar Talun tetap bertahan. Pasar ini ada sejak awal 1900-an seiring pemerintah kolonial Belanda memperkuat basisnya di alun-alun Kota Malang.

Era itu mulai banyak orang Belanda bermukim di daerah poros kota, seperti sekitar alun-alun (Talon, Tongan, dan Sawahan) dan daerah strategis sepanjang jalan rel kereta api keluar kota, seperti Kayutangan, Klojenlor, dan Rampal. Mereka belanja ke Pasar Talun.

Dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo (1996) disebutkan bahwa di luar komunitas Eropa, Tiongkok, dan Arab itu, bangsa pribumi kala itu justru ”terlupakan” oleh Pemerintah Belanda.

Penduduk pribumi justru berdiam di perkampungan kota, yaitu di gang-gang padat penduduk di sekitar Kebalen, Jodipan, Talun, dan Klojenlor.

Dari sinilah dimungkinkan Pasar Talun (dari kata Talon) berkembang. Ada pula warga yang menceritakan bahwa Pasar Talun dibuka Mbah Honggo Koesoemo, tokoh keturunan Kerajaan Majapahit yang turut berjuang bersama Pangeran Diponegoro melawan Belanda (tahun 1900-an). Mbah Honggo dimakamkan di Jalan Basuki Rakhmat Gang IV (tidak jauh dari pasar Talun).

Kelebihan Pasar Talun adalah antarpedagang dan pembeli sangat akrab dan memiliki rasa kekerabatan tinggi.

”Bagaimana tidak guyub karena baik pedagang maupun pembeli tinggal di sekitar daerah itu, jadi saling kenal,” ujar Bu Sri, penjual nasi pecel yang sudah berjualan selama 30 tahun di pasar tersebut.

Menariknya, Pasar Talun juga multifungsi. Bu Sri mengatakan, jika warga mengadakan hajatan, pasar ini bisa disulap menjadi tempat pesta (tinggal memasang tenda). Jika Arema (kesebelasan sepak bola kebanggaan Malang) bertanding, kompleks pasar dijadikan lokasi nonton bareng oleh warga.

Kota Malang memiliki 28 pasar tradisional dengan jumlah los dan kios 13.000-14.000 unit. Pemerintah Kota Malang sedang mencari model untuk menata semua pasar tradisional agar tidak ditinggalkan pembeli di tengah gempuran swalayan modern berjaringan.

Revitalisasi, kata Kepala Bidang Ketertiban dan Pengawasan Dinas Pasar Kota Malang Eko Syah, akan berlanjut dengan tetap mempertahankan keunikan masing-masing pasar. (Dahlia Irawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com