Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cermin Berjuta Wajah di Pekalongan

Kompas.com - 23/06/2016, 07:33 WIB

PEKALONGAN tak cuma batik. Banyak hal menarik yang bisa diselami meskipun rasanya sulit untuk benar-benar lepas dari batik, yang menjadi napas kehidupan kota di pusat pesisir pantai utara Jawa itu.

Mari kita blusukan di kawasan pecinan dan Kampung Arab yang berlokasi tak jauh dari alun-alun di pusat kota Pekalongan. Di sana, wajah multikultur yang menjadi cermin betapa keberagaman hidup telah bersemayam sangat lama di banyak kota di Indonesia, termasuk di Pekalongan, hadir melalui sisa-sisa bangunan lama yang mulai melapuk.

Orang Tiongkok dan orang Arab sudah masuk wilayah Nusantara jauh lebih dahulu ketimbang orang-orang Eropa, termasuk Belanda. Pada abad ke-4, pendeta Buddha Fa-Hsien menulis telah mencapai Jawa. Di Pekalongan, diperkirakan orang Tionghoa mulai masuk ke kota ini pada abad ke-7 Masehi.

Kami masuk kawasan pecinan dari arah Gereja St Petrus di tepi Sungai Kupang yang kini lebih dikenal dengan nama Kali Loji. Sungai ini pada masa Belanda sempat dijuluki sebagai Venezia van Java karena keindahan pemandangannya. Sisa keindahannya masih terlihat dari seberang gereja yang bayangannya jatuh ke atas air sungai.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Berbagai suasana perumahan di Pekalongan, Jawa Tengah.
Dari arah gereja, kami berjalan melewati Jalan Blimbing dan melintasi Kelenteng Pho An Thian yang dibangun tahun 1882. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu rata-rata terdiri atas dua lantai dengan bentuk atap yang khas, yakni pelana (ngang shan) dengan ujung melengkung ke atas.

Beberapa bangunan menampakkan percampuran arsitektur Tiongkok dan Belanda. Sisa-sisa arsitektur lawas masih tertinggal pada ukir-ukiran di bagian daun pintu, jendela, dan ragam hias pada pagar.

”Beberapa rumah di kawasan itu dulu milik kapitan. Salah satunya Kapitan Lee Tek Lok, orang kepercayaan raja gula Oei Tiong Ham yang mengurusi perkebunan mulai dari Kendal sampai Pekalongan serta sebagian Salatiga,” ungkap Moch Dirhamsyah, pegiat sejarah Pekalongan.

Rumah-rumah itu sebagian masih dihuni, sisanya dibiarkan kosong dengan beberapa bertanda ”Dijual”. Pagi hari, Jalan Blimbing tampak lengang. Hanya ada satu dua orang yang berjalan kaki, kendaraan pun tidak ramai. Beberapa warung makan bertuliskan bubur ayam, nasi goreng, kwetiau goreng, nasi bakmoy, dan mieswa masih tutup.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pasar batik di Pekalongan, Jawa Tengah.
Di salah satu pertigaan, berjajar warung tenda yang menjual daging babi mentah. Beberapa orang menyapa dengan ramah. Sesekali becak lewat menawarkan tumpangan.

Kawasan pecinan saat ini tersebar di wilayah Keplekan Lor (Jalan Sultan Agung), Keplekan Kidul (Jalan Hasanudin), dan Kerimunan (Jalan Salak dan Jalan Manggis). Dulu, Belanda membagi dan memisahkan wilayah kantong orang Tionghoa, Arab, dan pribumi agar mudah mengontrol tingkat kriminalitas.

Kampung Arab letaknya bersebelahan dengan kawasan pecinan dan masuk wilayah Kelurahan Sugihwaras, Poncol, dan Klego. Salah satu yang masih kental nuansa Timur Tengah-nya adalah Jalan Surabaya.

Di salah satu titik, masih kokoh berdiri Masjid Wakaf dengan bentuk menara yang khas. Masjid ini dibangun tahun 1854 oleh Sayid Husein bin Salim, pedagang asal Hadramaut, Yaman. Tanah tempat dibangunnya masjid dulu adalah hutan belantara yang dijadikan makam para pelaut yang meninggal dalam perjalanan menuju ke Pekalongan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pasar batik di Pekalongan, Jawa Tengah.
Pasar batik

Orang-orang Arab masuk Pekalongan lebih lambat ketimbang daerah lainnya, yakni diperkirakan pada abad ke-15. Namun, pada abad ke-18, jumlah orang Arab yang datang semakin banyak dengan majunya perdagangan di Pekalongan.

Orang Arab di Pekalongan kebanyakan berasal dari kelompok menengah atas dari Hadramaud yang bertujuan untuk berdagang, berdakwah, dan mencari tempat tinggal baru.

Etnis keturunan Arab banyak membuka toko di sini, mulai dari toko batik sampai kebutuhan peribadatan. Pagi itu kami menyaksikan beberapa toko mulai buka.

”Kampung Arab ini pada tahun 1950 dikenal sebagai pasar batik yang sangat maju. Komoditasnya berupa bahan baku batik, tenun, dan tekstil lainnya, seperti kain mori dan benang. Harga kain mori di sini bahkan dijadikan patokan harga nasional,” kata Dirhamsyah yang juga Sekretaris Pekalongan Heritage.

Pasar batik akan ramai setiap sore di sepanjang Jalan Surabaya dan Jalan Semarang di kawasan Kampung Arab. Para pedagang dari berbagai daerah berdatangan untuk berdagang di sini sehingga tumbuh hotel dan penginapan. Namun, yang tersisa kini, beberapa toko yang menjual perlengkapan haji dan toko batik.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Berbagai suasana dan kegiatan di Pekalongan, Jawa Tengah.
Perubahan angin politik membuat pasar batik hancur sama seperti nasib batik pada waktu itu. Pemerintahan Orde Baru yang lebih memilih dukungan terhadap investasi dan perusahaan besar sekaligus mencabut proteksi terhadap usaha kecil menengah saat itu, membuat usaha batik para perajin hancur.

Selain bangunan-bangunan, jejak percampuran budaya juga tertinggal lewat kuliner setempat. Soto tauto adalah contoh kuliner peranakan, sedangkan nasi kebuli yang banyak ditemui di Pekalongan tentu saja hasil tinggalan kuliner pengaruh Timur Tengah.

Beberapa rumah makan yang menyajikan nasi kebuli bisa kita temui di kawasan Kampung Arab. Salah satu warung di ujung Jalan Surabaya dari arah Masjid Wakaf juga menjual bumbu-bumbu siap pakai untuk nasi kebuli, gulai, dan opor.

Pekalongan sebagai kota kecil yang dinamis juga menunjukkan progresivitasnya dalam merespons perkembangan. Hotel mewah bintang tiga dan empat tumbuh subur menampung tamu-tamu yang hendak berbisnis atau melancong. Biro travel dan wisata mulai muncul mempermudah pelancong menikmati kota.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Berbagai suasana dan kegiatan di Pekalongan, Jawa Tengah.
Salah satu agenda kota yang ditunggu adalah Kirab Budaya saat hari ulang tahun Kota Pekalongan. Seperti pagi itu, ribuan warga berkumpul di alun-alun menyaksikan rombongan kirab memamerkan beragam hasil bumi dan kreasi seni.

Puncak acara berupa pembagian tumpeng raksasa yang berisi nasi bungkus, buah, dan berbagai hasil bumi. Warga yang berkumpul sejak pagi tak sabar lagi menunggu komando. Saat pendoa belum merampungkan doanya, mereka berebut tumpeng dengan kalap.

”Sabar-sabar. Jangan berebut. Semua kebagian,” teriak Wali Kota Pekalongan Achmad Alf Arslan Djunaid menenangkan warga yang sebagian besar jelata. Namun, imbauannya tak dihiraukan. Acara ini menunjukkan wajah lain Pekalongan: kemiskinan. (SRI REJEKI & MOHAMAD HILMI FAIQ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com