Standardisasi harga dan fasilitas penginapan pun belum ada. Ada hotel yang bisa menjual kamar hingga Rp 1,5 juta saat puncak kunjungan wisatawan. Namun, saat sepi, kamar yang sama hanya dijual Rp 100.000.
Restoran halal masih jarang ditemukan di kawasan wisata ini. Di salah satu restoran, misalnya, bau kotoran kerbau dari kadang kerbau tak jauh dari kawasan wisata menyeruak.
Banyak penginapan tidak memiliki instalasi pembuangan limbah, dan langsung mengucurkan limbah ke danau. Keramba jaring apung bertebaran membuat air danau tercemar pakan ikan. ”Sudah tak banyak lagi turis asing yang mau berenang,” kata Annette.
”Turis asing sangat terpesona dengan keindahan Danau Toba, terutama saat melihat dari jauh. Namun, saat didekati mereka kecewa,” lanjut Annette.
Di pasar suvenir Tomok, tak ada standar harga suvenir. Satu kaus oblong bertuliskan Danau Toba ditawarkan pedagang Rp 70.000. Setelah proses tawar- menawar, terjadi kesepakatan harga menjadi Rp 40.000. Namun kaus yang sama dijual Rp 30.000 di Parapat.
”Harganya kalau di sini sudah standar. Pak Camat tak henti- henti mengingatkan kami untuk melayani wisatawan,” kata Natalia Sinaga (30), pedagang mangga udang khas Tapanuli, yang dengan sabar memberikan pilihan mangga sesuai kualitas dan harganya.
Marlon Simangungsong (37), penjaga Pantai Lumban Bulbul Nauli, di Balige, mengatakan, dia belajar melayani wisatawan secara otodidak. Prinsipnya supaya orang mau kembali lagi ke pantai di kampungnya itu.
”Biasanya kalau saya sudah mau marah saya tinggalkan mereka, supaya mereka tidak tahu kalau saya marah,” kata Marlon.