Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lydia Malinda, Menjaga Harkat Tenun Sasak

Kompas.com - 20/07/2016, 11:52 WIB

Setelah kain tenun berpindah ke tangan ibundanya, kain itu disimpan dan baru dijual apabila pembeli memberikan harga yang pantas. Jika pembeli memberikan harga sangat tinggi, ibunda Lidya tak segan membagi selisih keuntungannya kepada penenun.

Sejak 1998, Lydia mulai jalan sendiri mengumpulkan kain tenun. Dia juga meminjamkan modal berupa benang kepada penenun agar mereka bisa berproduksi. Setelah jadi kain tenun, dia tak mewajibkan penenun menjual kepadanya.

Lydia membebaskan penenun yang mengambil benang di tempatnya menjual kain tenun kepada pengumpul lain yang memberikan harga lebih tinggi. Bagi guru Bahasa Indonesia ini, kepuasan batin menolong penenun jauh lebih bermakna dibandingkan keuntungan materi yang dikumpulkan.

Jaga kualitas

Untuk mendongkrak kesejahteraan para penenun, Lydia harus menjual kain di atas harga yang diberikan para pengumpul lain. Namun, dia juga tak mau pembelinya kelak merasa dirugikan karena membayar lebih mahal untuk barang dengan kualitas sama.

Untuk mengakomodasi kepentingan produsen dan konsumen, mantan guru taman kanak-kanak ini menyiasatinya dengan menjaga kualitas tenun. Dia hanya memberikan kain tenun dengan kualitas terbaik kepada konsumen untuk menjaga kelangsungan bisnisnya.

Cara lain dilakukan dengan memproduksi kain tenun yang jarang diproduksi. Misalnya, tenun dengan bahan sutra dan benang emas. Selain proses produksinya susah karena rumit, bahan benangnya juga mahal sehingga tidak semua penenun mampu membuatnya. Pasar tenun sutra dan benang emas sendiri cukup menjanjikan karena barangnya eksklusif.

Selembar kain tenun sutra bisa dijual di atas Rp 2 juta. Tenun benang emas harganya lebih mahal lagi, bahkan bisa belasan juta rupiah. Adapun proses produksinya memakan waktu sebulan hingga dua bulan karena butuh ketekunan dan kehati-hatian saat merangkai helai-helai benang.

Masih dalam kaitan menjaga kualitas, Lydia tak segan bereksperimen menghasilkan pewarna kain dari bahan alam, seperti kulit pohon jati untuk warna pink dan abu pembakaran untuk warna hitam.

Dia rajin menggali resep-resep pewarna alam warisan leluhur dan mencobanya. Kendala ada pada semakin sulitnya mendapatkan bahan alam, seperti daun tertentu dari pohon yang sudah langka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com