"Namun, kini kehidupan mereka sekarang sudah lebih baik. Meski masih hidup di rumah-rumah terapung, namun ada listrik pemberian desa yang dijatah pada jam-jam tertentu. Mereka diberikan hak untuk tinggal dan diwajibkan melestarikan lingkungan pesisir ini," jelas Ketua Kelompok Toudani Binaan WWF Indonesia, Nuryanti.
Yanti menambahkan, anak-anak dan generasi muda Bajo Mantigola pun sudah banyak yang bersekolah, mengenyam pendidikan, atau sekolah berbasis keagamaan hingga tingkatan tertentu.
Kondisi diametral terjadi pada nelayan Bajo Mola yang telah mengalami transformasi demikian pesat yang merujuk pada perubahan masyarakat berbasis pertumbuhan dan mekanisme pasar.
Dalam tesisnya berjudul Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Nur Isiyana Wianti dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), bahkan menyebut Bajo Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi.
Bajo Mola merupakan bagian dari proses relokasi masyarakat Bajo ke daratan. Ini rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya.
Kenyataan ini, tulis Isiyana, jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi bukannya tidak menyadari hal itu. Seiring dengan ditetapkannya Wakatobi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) melalui Peraturan Presiden (Perprees) Nomor 3 Tahun 2016 berbagai program dan rencana pembangunan digulirkan.
"Termasuk pembangunan jalan, jembatan, listrik dan air serta 55 homestay untuk menunjang fasilitas akomodasi," tutur Arhawi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.