Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiwo Wali di NTT, Air Terjun Raja

Kompas.com - 27/11/2016, 08:10 WIB

Di sisi paling kanan dari susunan batu tersebut terdapat batu yang panjangnya sekitar 30 sentimeter (cm) dan tertanam di tanah. Di batu itu ditulis kata ”wali”.

Menurut Yohanes, tidak ada orang di desa itu ataupun desa sekitarnya yang mengaku pernah menulis itu. ”Saya juga sudah bertanya ke orang-orang tua yang masih ada di kampung. Mereka tidak tahu menahu tentang tulisan itu,” ujarnya.

Ayah Yohanes, Matius (69), seorang tukang kayu, mengatakan, pada 1998 ada sekelompok orang asing yang datang ke tempat itu. Mereka seperti melakukan pengamatan, mengambil beberapa jenis batu dan beberapa tumbuhan.

Dalam bahasa Manggarai, tiwu berarti air yang jatuh dan menciptakan genangan, sedangkan nama wali diambil dari tulisan di batu yang tidak tahu asal muasalnya. Jadi, Tiwu Wali berarti air yang jatuh milik si-Wali. Tidak ada penjelasan filosofis untuk menjelaskan alasan mengapa diberikan nama Tiwu Wali.

Nama itu muncul begitu saja dari mulut ke mulut orang yang membicarakannya di sekitar desa. Meski demikian, Tiwu Wali menyimpan sebuah mitos. Konon katanya tempat itu adalah tempat mandi seorang raja.

”Ayah saya dulu pernah cerita kalau tempat itu merupakan tempat mandi raja dari Bima, Nusa Tenggara Barat,” tambah Matius.

Kerajaan Bima

Tahun 1640, Ruma Ta Ma Bata Wadu, raja ke-27 Bima, menikah dengan Daeng Sikontu, adik istri Sultan Makassar Alauddin yang beragama Islam. Perjodohan tersebut kemudian membuat Raja Bima masuk Islam yang sebelumnya memeluk agama Hindu.

Meski pengaruh Islam sudah masuk Bima sejak pertengahan abad ke-16 dan rajanya sudah memeluk agama itu, Bima baru resmi menjadi kesultanan Islam setelah Sultan Abdul Kahir mangkat dan digantikan oleh putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin.

Pada masa pemerintahan Sultan Bima II (1635-1681), adat dan hukum Islam mulai diberlakukan secara umum. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim, Sultan Bima XIII (1881-1915).

Kesultanan Makassar yang saat itu menguasai beberapa wilayah di Manggarai dan sekitarnya memberikan wilayah Reok kepada Kerajaan Bima. Saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Bima mulai dari Reok, Manggarai sampai Pota, Manggarai Timur.

Hal itu yang membuat sampai saat ini keturunan Bima hidup di tanah Reok dan masih menggunakan bahasa asli mereka. Bahasa Bima juga digunakan sampai ke Pota, Manggarai Timur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com