”Setelah dibuka tahun 1981, air terjun sempat ditutup bagi umum. Penyebabnya, tahun 1983 ada pengunjung meninggal akibat terseret air bah. Dua tahun kemudian baru dibuka kembali,” kata Dasril.
Menurut Dasril, sejak awal, pengelolaan Lubuk Hitam dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Penetapan tiket Rp 2.500 per orang, misalnya, disepakati melalui rapat di tingkat kelurahan.
”Hasil dari tiket digunakan untuk kebutuhan masyarakat seperti kegiatan mushala dan hari besar keagamaan, perbaikan jalan, hingga kegiatan pemuda,” kata Dasril.
Dasril menuturkan, pengunjung Air Terjun Lubuk Hitam hanya ramai pada akhir pekan. Itu pun hanya 50-60 orang. Namun, pada momen tertentu, seperti mandi balimau atau mandi bersama menjelang bulan Ramadhan, pengunjung Lubuk Hitam bisa mencapai lebih dari 1.000 orang per hari.
”Setidaknya keberadaan air terjun Lubuk Hitam memberi dampak bagi masyarakat. Selain pemasukan dari tiket, mulai bermunculan warung-warung milik warga. Ke depan, kami berharap pihak-pihak terkait bisa membantu promosi karena selama ini masih sebatas dari mulut ke mulut,” kata Dasril.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang Medi Iswandi mengatakan, kawasan Air Terjun Lubuk Hitam memang menjadi salah satu potensi wisata yang menawarkan keaslian kawasan perkampungan, bentang alam pegunungan, dan air terjun itu sendiri.
Sejauh ini, karena lahan di lokasi tersebut merupakan milik masyarakat setempat, intervensi pemerintah kota lebih kepada pembinaan agar masyarakat bisa mengelola kawasan tersebut dengan lebih baik. (ISMAIL ZAKARIA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2017, di halaman 23 dengan judul ""Lubuk Hitam" Pesona di Bukit Barisan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.