Doni dan rekan-rekannya tidak sengaja membeli ikan segar tersebut. Perahu yang mereka tumpangi kebetulan berpapasan dengan perahu nelayan. Setelah bercakap-cakap, Doni dan rekan-rekannya malah tertarik untuk membeli ikan yang baru beberapa jam lalu ditangkap di sekitar Jemaja.
Sebanyak 10 ikan di perahu nelayan berpindah ke perahu yang ditumpangi Doni dan kawan-kawannya. Ikan-ikan itu tidak dibayar langsung.
”Bayar setelah kami kembali ke Letung (wilayah teramai di Jemaja),” kata Doni.
Padahal, ada jeda sembilan jam sejak transaksi itu terjadi sampai Doni bertemu nelayan itu di Letung. Sebelum perjumpaan tidak sengaja itu, nelayan dan Doni sama sekali tidak pernah bertemu atau saling kenal.
”Saya terkejut begitu mudah dipercaya di sini. Tidak mungkin bisa seperti ini di Jakarta,” ujarnya sembari tergelak.
Terlambat ke Anambas
Ia mengaku menyesal baru di awal 2017 tiba di Anambas. Sejak lama dirinya sudah mendengar keindahan di Anambas.
”Di sini mau melihat terumbu karang tidak harus bisa menyelam. Dari pantai, hamparan terumbu karang sudah ada di jarak 5 meter dan kedalaman kurang dari 2 meter,” tuturnya.
Kendala utama yang ditemui oleh para pelancong adalah transportasi menuju Anambas. Transportasi ke wilayah itu hanya tersedia satu kali penerbangan setiap pekan dari Tanjung Pinang dengan pesawat berkapasitas 12 penumpang. Dengan pesawat, ke Anambas memakan waktu 1,5 jam dari Tanjung Pinang, ibu kota Anambas.
Sementara dengan kapal cepat dari Tanjung Pinang, Anambas dijangkau dalam sembilan jam. Di Anambas, transportasi menggunakan perahu. Karena terdiri atas ratusan pulau, wajar transportasi utama adalah perahu atau kapal.
Selain itu, ada masalah telekomunikasi karena keterbatasan sinyal. Di banyak lokasi, sama sekali tidak ada sinyal.
”Justru sebenarnya bagus karena bisa sejenak terlepas dari dunia luar. Benar-benar fokus menikmati keindahan Anambas,” ujar Prambudi, pelancong dari Tanjung Pinang. (KRIS R MADA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2017, di halaman 23 dengan judul "Ikan Bakar di antara Pasir dan Batu".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.