KULON PROGO, KOMPAS.com - Lima perempuan setengah baya memukul-mukulkan kayu panjang yang disebut alu pada lesung dari kayu nangka pada Festival Padhang Bulan (FPB) di Alun-Alun Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (15/10/2019) malam.
Irama bertalu-talu terdengar rancak terlebih diiring tabuh gemung, gamelan, kendang, bende dan gong. Semua mengiring sinden menyanyikan sebuah kisah rakyat tentang keraton yang sedang mencari dan melatih prajurit handal.
Sementara, belasan lainnya menari dengan jaranan atau kuda kepang dan ada yang sambil membawa tombak.
Saat itu, puluhan seniman sedang memainkan Oglek, sebuah kesenian khas masyarakat Tuksono, Sentolo, Kulon Progo yang mirip jathilan. Kehadiran lesung dari kayu nangka menarik perhatian lantaran suaranya dominan karena dipukul bertalu-talu.
Baca juga: Wisata di Kulon Progo, Coba Telusuri Goa Cerme Malam Hari
Semua penari tersihir mengikuti paduan irama perkusi dan sinden ini.
"Ini kisah Adhon-adhon Banteng Mataram tentang keraton yang sedang menyeleksi pemuda pemudi terkuat untuk jadi prajurit," kata Koordinator Kecamatan dari Dewan Kebudayaan Kulon Progo untuk Kecamatan Sentolo, GS Suryadi.
FPB adalah pertunjukkan kesenian Gejok Lesung yang mempertontonkan kelihaian para seniman lokal memainkan musik perkusi dari lesung yang dipukul dengan alu. Lesung tidak sendiri. Musiknya dikolaborasi dengan kesenian lokal.
Festival menegaskan lesung bukan barang kenangan dan pajangan, terutama bagi warga Desa Tuksono di Sentolol. Mereka memanfaatkannya dalam tiap latihan kesenian maupun pertunjukkan.
Dulu, lesung memang berguna untuk menosoh atau mengupas padi, membuat gaplek, pukulannya konon memberitahukan warga sedang berduka maupun melahirkan.
Baca juga: Segarnya Air Terjun Kedung Pedut, Pemandian Alami di Kulon Progo
Suryadi menceritakan, kesenian menggunakan gejok lesung ini diminati banyak kalangan. Karenanya mereka sering diminta bertandang untuk memeriahkan acara di berbagai suasana. Misalnya, pentas di banyak daerah di Yogyakarta.
Pertunjukan lokal bahkan tidak terhitung, mulai dari wiwitan massal atau panen padi raya, sunatan, ketoprak, hingga merti dusun atau bersih desa.
Termasuk kembali jadi peserta Festival Padhang Bulan.
"Kebetulan kami ini rodho payu (lumayan laris). Bahkan kami pernah menyambut Kanjeng Ratu ketika datang ke sanggar," kata Suryadi.
Di FPB 2019, Suryadi melibatkan 40 seniman senior dan 8 anak-anak calon penerus mereka.
Lain halnya kelompok seniman asal Giripeni, Wates. Mereka juga mengolaborasi musik dan tari dengan hentakan suara lesung dipukul alu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.