Menurut Pitana, harus ada permintaan maaf dari wisatawan maupun pihak yang bersangkutan, serta upacara pembersihan kawasan tersebut.
"Dibuat acara Ruwatan, di Bali namanya Caru, meruwat (membersihkan atau memulihkan) lokasi. Ini sudah menjadi kejadian yang berulang-ulang dengan bentuk dan gaya yang berbeda. Oleh karena itu, sudah saatnya Bali ini ketat dengan berbagai aturan," kata Pitana.
Secara singkat, ia menjelaskan, prosesi pembersihan tersebut harus dilakukan oleh pelaku dengan cara mendatangi masyarakat setempat, kemudian mengikuti arahan dari tokoh agama di sana.
Adapun biaya yang harus dikeluarkan, menurut Pitana, sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Baca juga:
"Tapi itu harus dilakukan karena menunjukkan itikad dan rasa bersalah, apalagi ke tempat suci. Jadi permintaan maafnya tidak hanya nyata, tapi juga secara sekala (duniawi) dan niskala (spiritual), tidak bisa salah satu," paparnya.
Lebih lanjut, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali mengatakan tindak lanjut dan detail dari prosesi pembersihan masih dalam tahap koordinasi dengan tokoh setempat.
"Saat ini saya masih berkoordinasi dengan majelis desa adat, karena itu pedomannya dari PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Bali," terang Tjok Bagus.
Kemudian, untuk selanjutnya, ia mengatakan akan terus berkoordinasi dengan dinas pariwisata Tabanan dan imigrasi mengenai tindakan terhadap wisatawan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.