BALI bisa dibilang sudah mengalami overtourism. Sejumlah dampak sosial mulai mengemuka. Pertanyaannya kemudian, kenapa turis asing lebih memilih ke Bali, sementara ada banyak daerah di Indonesia dengan destinasi yang layak dikunjungi.
Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan, antara lain bahwa banyak daerah yang sebenarnya potensial tetapi sudah kalah sejak awal. Kalah dalam branding dan positioning.
Tempat-tempat itu kurang fokus memberikan pembeda atau diferensiasi, sehingga tak punya daya tarik yang kuat. Apalagi kalau kultur masyarakat dan visi pemerintah daerahnya belum mencerminkan satu daerah yang siap menjadi destinasi wisata.
Baca juga: Miss Universe Rusia Promosikan Destinasi Pariwisata 10 Bali Baru
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan hal itu dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada 17 Januari 2023. Presiden berpesan kepada para kepala daerah untuk memiliki diferensiasi saat membranding daerahnya. Jangan justru mirip atau malah sama semuanya.
"Hati-hati yang namanya tata kota. Jangan semua kota-kabupaten ini sama semuanya. Namanya memiliki brand yang hampir mirip-mirip. Ada beriman, ada berseri, ber... ber... ber... semuanya," kata Jokowi ketika itu.
Presiden kemudian mencontohkan Davao, salah satu kota di Filipina, yang fokus dan menjadi sentra pisang. Agar menonjol dan berbeda dengan daerah lain, Davao menjadikan pisang sebagai produk unggulan dan branding kotanya.
"Buatlah brand sesuai dengan potensi dan keunggulan kita masing-masing. Seperti di Davao, Filipina itu, kota pisang. Semua tempat adanya hanya pisang, industrinya pisang, tarian pisang, semuanya pisang saja. Kalau orang pikir Davao, (pikirnya) pisang," kata Presiden Jokowi.
Contoh yang dikemukakan Presiden itu menarik untuk dicermati bila ingin ada “Bali Baru” tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Jika melihat atau belajar dari Davao, sesungguhnya ada banyak daerah terutama di Indonesia bagian timur punya potensi sama, bahkan bisa jadi lebih menarik.
Saya punya pengalaman ke Davao untuk menghadiri conference young entrepreneurs beberapa waktu lalu. Pernyataan Presiden menjadi pemantik lawatan itu diulas dalam catatan ini.
Dari Jakarta, saya transit di Kuala Lumpur dan Manila sebelum mendarat di Francisco Bangoy International Airport Davao. Davao City adalah kota terbesar dan ibu kota utama di Pulau Mindanao, sekaligus pusat regional Region Davao (Region XI).
Baca juga: Jokowi Ajak Filipina Buka Jalur Penerbangan Manado-Davao
Saat memasuki bandaranya yang bersih, aroma sebagai sebuah kota wisata sudah terasa. Berbagai cendera mata dan agen perjalanan berjejer menawarkan jasa.
Sebagai destinasi wisata, Davao adalah kota yang tak pernah tidur. Layaknya Bali, pariwisata telah menjadi andalan kota ini. Berbagai fasilitas bagi wisatawan tersedia: restoran, kafe, klub malam, live music, gym, dan spa buka hingga pagi hari.
Mungkin karena biaya hidup yang tergolong murah, Davo terus maju menjadi kota wisata yang menjanjikan. Pemerintah Kota Davao menyadari betul pentingnya pariwisata bagi pendapatan kota. Karenanya mereka memastikan Davao aman bagi para wisatawan.
Davao tampak berbeda dengan kota-kota lain, khususnya di Pulau Mindanao yang memang masih kerap dilanda konflik. Guna menjaga dan menjamin keamanan, kepolisian setempat membentuk Davao Death Squad (DDS), sebuah unit khusus polisi untuk mencegah kejahatan, premanisme, dan gangster.
DDS diberikan kewenangan penuh untuk mengambil tindakan tegas terhadap preman yang meresahkan atau gangster yang mengganggu keamanan dan ketertiban, meski cara itu dianggap berlebihan oleh para pegiat hak asasi manusia (HAM). Nyatanya, Davao menjadi salah satu kota yang relatif aman.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.