Nyatanya, penghancuran lingkungan alam untuk memenuhi permintaan pasar muncul sebagai kemajuan ekonomi.
Pengukuran PDB juga mengecualikan aktivitas yang meningkatkan kesejahteraan, tetapi berada di luar pasar, seperti mengasuh anak dan kerja suka rela (Hayward dan Colman, 2012).
Dalam publikasi pertama, GNH dipahami mengandung empat aspek yang berbeda: pertama, tata kelola yang baik; kedua, pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan; ketiga, pelestarian dan pemajuan budaya; dan keempat, konservasi lingkungan (Galay, 1999).
Pada tahun 2008, keempat pilar ini disempurnakan lebih lanjut menjadi sembilan domain, yang mengartikulasikan berbagai elemen GNH secara lebih rinci dan membentuk dasar pengukuran, indeks, dan alat penyaringan GNH, yaitu: (1) tata kelola yang baik; (2) taraf hidup; (3) vitalitas masyarakat; (4) pendidikan; (5) penggunaan waktu; (6) kesejahteraan psikologis; (7) ketahanan budaya; (8) kesehatan; dan (9) lingkungan.
Sesuai dengan sembilan pilar indeks GNH, Bhutan telah mengembangkan 38 sub-indeks, 72 indikator, dan 151 variabel yang digunakan untuk mendefinisikan dan menganalisis kebahagiaan masyarakat Bhutan.
Negara yang memiliki monarki konstitusional absolut, dengan 760.000 penduduk, dan wilayah teritorial 38.394 kilometer persegi ini, mendasarkan kearifan lokal, budaya, dan lingkungan, sebagai fondasi untuk pariwisata yang berkualitas. Pengembangan dan penerapan GNH tidak bisa dilepaskan dari itu.
Sementara Provinsi Bali sebagai bagian dari Indonesia dengan luas 747 kilometer persegi dan jumlah penduduk pada 2022 mencapai 4.287.193, tentu sulit dibandingkan dengan Bhutan, walau keduanya memiliki dasar kearifan lokal sebagai fokus aktivitas wisata.
Berkaca pada negara pulau Singapura yang juga menggantungkan pendapatan devisa dari pariwisata tanpa harus melakukan pembatasan ala Bhutan, tampaknya penerapan hukum dan peraturan yang tidak pandang bulu, menjadikan wisman untuk berpikir panjang untuk berbuat ulah di sana.
Tata kelola dan standar pelayanan kelas dunia menjadi filter untuk wisman berkualitas datang. Meski tidak memiliki alam yang indah, destinasi ini tetap menjadi salah satu tujuan utama wisata global.
Kajian mendalam dan komprehensif tampaknya harus dilakukan lebih dahulu sebelum langkah kebijakan strategis diambil karena menyangkut berbagai kepentingan yang harus dapat diakomodasi.
Kontroversi pembatasan kunjungan seperti yang pernah terjadi di Taman Nasional Komodo dan Candi Borobudur tentu tidak ingin terulang lagi.
Ketika pariwisata Bali ingin seperti Bhutan, tampaknya baru sebatas wacana, yang mungkin sulit terwujud. Kenapa kita tidak mencoba untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus menjadi “orang lain”.
*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.