Ada makna mendalam dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta. Melansir dari situs Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sumbu Filosofi Yogyakarta menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi.
Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju Keraton Yogyakarta mewakili konsep sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke Keraton Yogyakarta mewakili filosofi paran (tujuan), yaitu perjalanan manusia menuju Sang Pencipta.
Panggung Krapyak menuju ke utara atau ke Keraton Yogyakarta, menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak, atau konsep sangkaning dumadi, seperti dikutip dari Visiting Jogja.
Bangunan yang terletak sekitar 2 km dari Keraton Yogyakarta ini, berbentuk segi empat dengan tinggi kira-kira 10 meter, lebar 13 meter, dan panjang 13 meter. Secara simbolis, Panggung Krapyak memiliki makna awal kelahiran atau rahim.
Sebaliknya, dari Tugu Golong Gilig ke arah selatan atau ke Keraton Yogyakarta, mewakili perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta atau konsep paraning dumadi.
Secara filosofis, Tugu Golong Gilig melambangkan bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta. Warna putih dipilih untuk melambangkan kesucian hati yang harus menjadi dasar upaya menghadap Sang Pencipta.
Sepanjang sumbu imajiner tersebut, masyarakat bisa menjumpai beragam destinasi wisata budaya dan sejarah yang ikonik.
Meliputi, Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Jalan Malioboro, Alun-Alun Kidul, Tugu Yogyakarta, Pasar Beringharjo, Plengkung Gading, Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, dan sebagainya.
Kawasan tersebut merupakan destinasi wisata populer di kalangan wisatawan.
Baca juga:
Sumbu Filosofi Yogyakarta menjadi warisan dunia UNESCO ke-6 di Indonesia pada kategori budaya.
Sebelumnya, UNESCO telah menetapkan lima warisan budaya Indonesia. Meliputi, kompleks Candi Borobudur (1991), kompleks Candi Prambanan (1991), dan Situs Prasejarah Sangiran (1996).
Kemudian, Sistem Subak di Bali sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012) dan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.